TEUKU IBRAHIM AGUNG CUNDA

 

HT. Ahmad Fauzi

TEUKU IBRAHIM AGUNG CUNDA (1906- 1946)


.

    Nama asli Teuku Raja Ibrahim Panglima Agung adalah Teuku Ibrahim Agung. Ia putra Teuku Chik Mahmud, Zelfbesturder van Cunda dan kemanaan Teuku rhi Bujang Selamat, hulubalang Krueng Geukeuh dan Teuku Muhammad Said Cumbok.


Mengingat pembakaran rumah Teuku Raja Ibrahim  Agung Cunda oleh Pemuda Pusa dan Pesindo Lhokseumawe  Maret 1946, yang menyebabkan semua dokumen keluarga hangus, maka data kelahiran beliau tidak diketahui pasti. Agaknya Teuku Raja Ibrahim Panglima Agung diperkirakan lahir sekitar tahun 1906. Ibunya seorang putri bangsawan dari Geudong.

Pendidikan 

Teuku Raja Ibrahim Agung mendapat pendidikan sekolah rakyat ( volkschool) tahun 1913 dekat rumahnya di Cunda. Sebagaimana lazimnya anak hulubalang lainnya di Aceh Utara, mereka menyekolahkan putra putrinya ke sekolah Belanda, Europeeshe Lagere School (ELS) di Sigli, maka ia juga belajar di sana. Setelah belajar  tujuh tahun di ELS, ia masuk  MULO ( Mer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Kutaraja. Setelah belajar tiga tahun di MULO, ia juga masuk ELS ( Elgemene Middbare School) di kota yang sama.

Lulus ELS,  Teuku Ibrahim dalam usianya 24 tahun dikawinkan dengan Cut Kablat. Karena tidak mempunyai keturunan, ia kemudian menikahi lagi dengan putri hulubalang Geudong. Tahun 1945 putri mereka lahir. Ia diberi nama Cut Nurmala.

Teuku Ibrahim sosok pemuda cerdas dan bertemperamen tegar. Beliau dipersiapkan oleh orang tuanya Teuku Mahmud  menjadi hulubalang  Cunda di kemudian hari, bila ia mangkat. Namun cita cita  Teuku Mahmud buyart tahun 1945, gegara cendikiawan Kutaraja menggabungkan Aceh ke dalam Republik Indonesia dan 1946, TPR melakukan kebijakan lain.

 

Panglima GPTR

 

Pasca kemenangan Teuku Ibrahim, API/TKR beserta rakyat Cunda dalam pertempuran dengan tentara Jepang di Cunda tanggal tanggal 15 November 1945 , sehingga dapat merampas senjata, amunisi dan bahan peledak (JAMUBADAK) dari musuh sebegitu banyak. Beliau selanjutnya dipercayai untuk memimpin GPTR tahun 1945-1946 oleh  Federasi empat elite hulubalang di kenegerian: Cunda, Krueng Geukuh, Lhokseumawe dan Geudong. Sejak itu Teuku Ibrahim ditabalkan namanya secara resmi Teuku Raja[1] Ibrahim Panglima Agung. Sosoknya tegar dan empunya ilmu kebal sehingga sedikit  orang berani melawannya dalam pertarungan terbuka.

Awalnya  GPTR sebuah milisi Badan Pembantu Angkatan Pemuda Indonesia  (BAPA) ciptaan dan binaan Teuku Chik Muihammad Latief, Kepala Wilayah Lhokseumawe untuk menjaga ketertiban  keamanan masyarakat setempat berdasarkan  kebijakan Komando Divisi V API Aceh. Komando API juga secara khusus menyerukan kepada kaum bangsawan  agar memberikan dukungan keuangan untuk organisasi kemiliteran ini dalam status BAPA.

 Namun, pascapalagan Cumbok, Lueng Putu dan Meureudu, BAPA mempupunyai tugas ekstra untuk menjaga   hulubalang Lhok Seumawe dan sekitarnya tahun 1945 dari gangguan  milisi Pesindo, Mujahidin dan Teungku Chik Paya Bakong. Markas GPTR terletak di Cot Panggoi Lhokseumawe.

Menurut versi Syamaun Gaharu, GPTR merupakan milisi tangguh di Lhokseumawe, Aceh Utara. Teuku Raja Panglima Agung dapat merebut senjata Jepang tanggal 15 November 1945 yang didatangkan dari Sumatera Timur khusus untuk membantu dan memperkuat posisi tentara Jepang di Aceh yang sudah berada dalam keadaan kritis

Sebagaimana halnya milisi lainnya di Tanah Peusangan, binaan Teuku Chik Djohan Alamsyah dan pimpinan Teuku Muhammad Saleh, BAPA setempat bersikap netral dalam palagan  Meureudu, Lung Putu dan Cumbok. Agaknya mereka tidak mau pertumpahan darah terjadi di sana. Inilah salah satu sebab perjuangan Cumbok, Meureudu dan Lueng Putu gagal.

Tanggal 30 Desember 1945, Panglima GPTR, atas kebijakan Gubernur Sumatera secara rahasia diminta pasokan berkontribusi pasokan  senjata sekedarnya ke Kuala Simpang dalam upaya melunakkan ambisi Tentara Jepang di bawah pimpinan Jenderal Sawamura untuk melakukan invansi mereka  kembali ke Langsa.

 Tanggal 31 Desember 1945 dini hari, Teuku Raja Ibrahim Panglima Agung bersama pengiringnya bersenjata lengkap dan baju seragam hijau tiba di Langsa. Mereka membawa senjata secara rahasia dan menyerahkannya  kepada Teuku Radja Pidie, Kepala Luhak Aceh Timur untuk diserahkan kepada Jepang sebelum jam 12.00 WIB. Kedatangan mereka ke Langsa membuat Abdullah Husain, Kepala Polisi Langsa dan laskar rakyat lainnya curiga.

Mengenai sikap Tentara Jepang di Kuala Simpang, Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera menulis:

 

.

Mengingat kepentingan umum, maka desakan Jepang ini saya setujui. Pada tanggal 29 desember 1945 berangkatlah rombongan Gubernur menuju Langsa. Sesampainya rombongan ke Kuala Simpang, maka saya dengan di damping Residen Politik Karim Ms mengunjungi pimpinan tentara jepang di sana, Mayor jendral Sawamura, untuk mendengar keluhannya.

Jendral Sawamura melaporkan pada gubernur Sumatera bahwa orang-orang di Langsa adalah jahat. Mereka telah merampas senjata  Jepang di sana, padah”Pada tanggal 16 Desember 1945 waktu  maghrib diberitahukan ada suatu  pasukan tentera Jepang yang cukup kuat dan cukup alat senjatanya melalui Pangkalan Berandan  menuju Kuala Simpang. Kemudian tersiar kabar bahwa tentara Jepang itu menyerang sampai ke Langsa.

 Tentara Jepang  menjadi  marah , karena rakyat Langsa 13 Desember 1945  telah merampas  alat senjata Jepang di sana dan barang lainnya, meskipun terlebih dahulu diserahkan separuh dari senjata Jepang yang ada di Langsa kepada TKR.

Kira- kira 5 kilometer dari kota, terjadi tembak menembak dengan pasukan Jepang yang menuju ke Langsa. Dari satu pleton TKR yang dikirim kesana, hanya kurir yang selamat, lainnya semua gugur. Dari Langsa datang satu kompi yang dipimpin oleh komandan resimen sendiri. Dalam pertempuran itu komandan resimen, Letkol Bahtiar mendapat luka parah pada perutnya kena peluru, dan anak buahnya yang berjibaku gugur.

 

Sebelum memasuki kota Langsa, tentara Jepang menembak dengan meriam sehingga banyak penduduk  yang mengungsi terutama kaum wanita. Sesampai tentara Jepang di Langsa, maka Jepang merajalela menghancurkan apa yang ada di sana, memecahkan piring dan barang barang pecah belah yang dijumpainya, merusak kasur, sprei, bantal. Juga mematikan ayam dan binatang ternak lainnya, menghancurkan alat alat komunikasi. Selain itu ada yang dipukul dan pegawai negeri yang diikat oleh tentara Jepang yang kejam dan bengis itu”. Oleh karena itu Rakyat menjadi marah, pasukan TKR dan laskar  rakyat datang berduyun duyun dari segala jurusan  untuk merebut kota Langsa kembali.

 

                Selanjutnya Teuku Teuku Muhammad Hasan  mencatat:

 

Pada akhir bulan Desember 1945 datang opsir penghubung Jepang menghadap gubernur Sumatera. Dia menyampaikan pesan panglima Jepang di pematang siantar dan mendesak guburnur sumatera supaya meninjau Langsa keadaan sengat genting di sana, karena akan terjadi pertempuran antara pihak jepang dengan pihak Indonesia al jepang telah lebih dahulu menyerahkan senjatanya pada TKR. Pimpinan Letnan Kolonel Bahtiar. merampas pula obat – obatan, uang, beras, pakaian, makanan dan kendaraan tentara Jepang. Tentara Jepang menyerbu kota Langsa dengan maksud untuk mengambil kembali senjata – senjata yang telah di rampas itu, tentara Jepang dengan sengaja tidak menunjukkan meriamnya kearah Kota Langsa akan tetapi keluar kota langsa.

 

 

Teuku Muhammad Hasan   menambahkan:

 

“ Pada waktu malam hari 30 Desember 1945, saya meminta data- data pada Kepala TKR dan Kepala Polisi yang mengetahui soal perampasan senjata Jepang  itu. Kepada mareka  saya jelaskan bahwa tentara Jepang di Kuala Simpang sangat marah kepada orang orang berhubung perampasan senjata Jepang dan lain lain. Mareka akan  menghancurkan kota Langsa dengan meroiam yang diperintahkan Sawamura kepada opsir opsirnya. Berhungng dengan hal ini, maka Gubernur Sumatera meminta kepada Jepang supaya penembakan kota Langsa ditunda. untuk sementara waktu sampai jam 12.00 siang sampai 31 Desember 1945 guna memberi kesempatan kepada Gubernur untuk mengusahakan pengembalian  senjata senjata yang telah dirampas itu kepada tentara Jepang.

Untuk mencegah jangan sampai tentera Jepang menyerbu kota Langsa kedua kalinya, maka saya menganjurkan  kepada kepala TKR dan kepala Polisi untuk mencari dan menyerahkan beberapa pucuk senapan  pada Jenderal Sawamura. Saya peringatkan  supaya hal ini jangan oleh pemimpin pemimpin rakyat yang besok akan menghadiri pertemuan dengan pemerintah. Kedua petugas itu karena insaf insaf bahaya yang akan datang, berjanji akan menyerahkan beberapa pucuk senjata rampasan.atas informasi kedua petugas ini, meminta datang pula malam itu Kepala laskar rakyat Lhok Seumawe yang mengetahui soal senjata yang dirampas di Langsa dari tentaraJepang.

 

 

Atas kesetiaan Panglima Agung GPTR, Teuku Ibrahim Cunda pemerintah Indonesia,Gubernur mengangkat Teuku Raja Pidie, putra hulubalang Geudong  menjadi Bupati Aceh Timur mengantikan Teuku Daudsyah yang ditabalkan menjadi Residen Aceh. Teuku Raja Pidie merupakan paman Teuku Ibrahim Agung di pihak ibu. Sebelumnya ia diangkat menjadi Wedana Lhok Sukon.

 

 

Referensi:

 

1.     A.K. Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Kemeerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 1998;

2.     Anthoni Reid, Sumatera Revolusi dan  Elite Tradisional, Jakarta: Komunitas Bambu, 1979.

3.     Mardanas Safwan, Syamaun Gaharu, Jakarta:  Sinar Harapan; Muhammad Umar, Peradabanm Aceh (Tamaddun) Kilasan Sejarah dan Adat, Banda Aceh: Bubon Jaya, 2008;

4.     Nazaruddin Syamsuddin,  Revolusi di Serambi Mekka, Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999;

5.     Ramadhan KH, Syamaun Gaharu,Jakarta: Sinar Harapan, 1995;

6.     T.Ibrahim Alfian, Revolusi Kemeerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1947), Banda Aceh: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permesiuman Daerah Istimewa Aceh, 1982; 

7.     Teuku Muhammad Hasan, M.R. Teuku Muhammad Hasan, dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 1999

 



 

 

Lebih baru Lebih lama