TEUKU
MUHAMMAD SAID CUNDA
(1899-1946)
HT. Ahmad Fauzi
KELAHIRAN
Teuku Muhammad Said lahir di lanschap Mukim
Cunda tahun 1895. Ayahnya Teuku Johan bergelar Teuku Muda Cunda, pemegang
surakata cap Sembilan dari Sultan Mahmud Syah Sultan Aceh Darussalam (1873-
1905) dan Vost van lanschap Mukim Cunda
tahun (1905-1917).
PENDIDIKAN
Sebagai anak hulubalang Mukim Cunda Teuku
Muhammad Said mengikuti pendidikan agama via pendidikan keluarga dari gurunya
yang didatangkan dari luar kuta. Manakala berumur 7 tahun, ia dimasukkan
ke Hollandsch Indiessche School (1908- 1914) Lhokseumawe.
Selepas
belajar di Hollandsch Indiessche School, Teuku Muhammad Said melanjutkan
pendidikan ke Kweekschool Bukit Tinggi, Jurusan Pamong Praja (1917- 1921). Dia
merupakan murid Kweekschool Jurusan ilmu pemerintahan rombongan kedua
dari Aceh. Dia seangkatan dengan Teuku Muhammad, Teuku Bentara Seumasat Muhammad Hasan Geulumpang Payong (1892- 1944), Teuku Nyak
Arief (1899-1946), Teuku Bujang Selamat,
anak hulubalang Mukim Nisam (pantai Utara Aceh); Teuku Hasan, anak
hulubalang Keumala Pidie ( pantai utara Aceh);
Teuku Ahmad, anak hulubalang Peureume Aceh Besar. dan Teuku Abdul Latif
Geudong (189…- 1946). Saat itu, Belanda menyediakan beasiswa kepadanya f.25 perbulan.
Beasiswa dimaksud diambil oleh Belanda
dari kas kenegerian Mukim Cunda.
ORGANISASI KEBANGSAAN
Volkonderwijzersbond
Sebahagian besar para hulubalang muda di Aceh lulusan Kweekscool adalah
aktifis volkonderwijzersbond, Nationale
Inslanche Partij, Nationale Inslanch Partij (NIP, atau simpatisan Persyarikatan
Muhammaddiyah, seperti: Teuku Nyak Arief Lam nyong, Teuku Muhammad Hasan
Gelumpang Payong, Teuku AR Hasan Meuraksa, Teuku Rhi Bujang Selamat, Teuku
Banta Muhammad Ali Idi Rayeuk, Teuku Ali Basyah Langsa dan Teuku Muhammad Said.
Indikator Teuku
Muhammad Said merupakan simpatisan Persyarikatan Muhammadiyah. adalah, bahwa
beliau pernah mewakafkan sebidang tanah di prapatan Cunda untuk pendirian
fasilitas kegiatan Persyarikatan Muhammadiyah tahun 1946. Sedangkan dalam organisasi rakyat terpelajar (volkonderwijzersbond)tentunya
Teuku Muhammad Said menduduki posisi sebagai anggota. Hal demikian gegara beliau
diangkat sebagai hulubalang Mukim Cunda.
Begitu juga halnya Nationale Indische
Partij (NIP), Teuku Muhammad
Said bersama Teuku Bujang masuk
organisasi kebangsaan ini atas anjuran Teuku Nyak Arief, Teuku Hasan Gelumpang Payong
dan Teuku Meurah Muhammad Thajeb Peureulak. Mereka adalah pengurus NIP Aceh.
Sementara itu, dalam
keanggotaan Syarikat Islam Putih, posisi Teuku Muhammad Said sebagai anggota .
Ia selalu membuat kursus politik secara bergiliran di rumah rumah para
hulubalang di pantai Uara Aceh dengan melibatkan pemuda revolusioner seperti
Syeikh Abdul Hamid Samalanga dan Amir Husein Almujahid.
Di samping itu juga,
Teuku Muhammad Said bersama Teuku Rhi
Bujang Selamat mendirikan organisasai Moeslimin Bersatu. Namun, gegara tindak
tanduknya selalu menentang dominasi perdagangan Cina dan kebijakan Belanda di
tanah Pasai, beliau digolongkan aktifis komunis. Kemudian beliau bersama Teuku Rhi Bujang Selamat,
hulubalang Nisam dibuang ke Indonesia Bagian Timur tahun 1920.
KARIR
Zelfbestuurder Mukim Cunda
Sepulang dari Fort De cok, dalam usia 20
tahun, Teuku Muhammad Said secara resmi bertugas sebagai hulubalang Cunda tahun
1919. Tentunya terlebih dahulu beliau mendatangani Korte Veklaring.
Bila kita lihat catatan penulis sejarah, bahwa beliau
diangkat menjadi hulubalang Cunda tahun 1913 itu suatu kemungkinan. Di tahun
itu, ia masih belajar di H.I.S. Jabatan hulubalang yang ditinggalkan oleh
ayahnya, Teuku Chik Johan
dengan gelar Teuku Chik Muda Cunda yang peneken kontrak dengan Belanda pada 15
Juni 1900, dipangku
oleh pamannya Teuku Mahmud selama 6 tahun..
Teuku
Muhammad Said Cunda adalah hulubalang Mukim Cunda ke-II pasca dominasi Belanda
ke kawasan itu. Konon ayahnya Teuku Muda Cunda terpaksa menundurkan diri dari
vost Mukim Cunda gegara penyerangan gerilya pasukan Muslimin terhadap Belanda
di daerahnya dan landschap Mukim Lhokseumawe berturut turut tahun 1912
dan1921.
Selaras
dengan itu, pasca pengangkatan resmi Teuku Muhammad Said menjadi zelbestuurder
Mukim Cunda, sebagai mana di landschap lain di Aceh tahun 1919
penghasilan lada di lanschap Cunda menurun. Penyakit lada merebak. Sementara
itu, Inggris melarang ekspor beras Rangon ke Aceh dari Penang. Akibatnya rakyat
Teuku Muhammad Said menjadi miskin.
Kemiskinan rakyat Cunda mempengaruhi
perniagaan dan pembayaran pajak ke Belanda. Di pihak Belanda tetap mematok
pembayaran pajak dan cukai sebagaimana ketentuan yang diberlakukan.
Sementara
itu, secara berkala Teuku Muhammad Said melapurkan ke Countroleur Lhokseumawe target pajak yang telah dicapai oleh landschapnya.
Tentunya ini suatu dilema besar bagi Teuku Muhammad Said. Memihak ke rakyat
ditindas Belanda, condong ke Belanda rakyat menjerit.
Akumulasi
kemunculan fenomena baru dalam masyarakat Mukim Cunda, benih pemberontakan
bermunculan dalam diri Teuku Muhammad Said. Ia bersama kerabatnya Teuku Rhi
Bujang Selamat mendirikan organisasi
Moeslimin Bersatoe. Organisasi ini terjemahan dari Syarikat Islam.
Penterjemahan Syarekat Islam ke dalam
bahasa Aceh tentunya didasari oleh dua hal. Pertama, memudahkan
pemahaman, semangat juang ulama dan rakyat untuk menentang Belanda. Kedua
kemunculan faham komunis yang merasuki Syarikat Islam.
Pada masa
Teuku Muhammad Said, Syarikat Islam
menjadi perahu berkemudi dua, Syarikat Islam putih dan Srarikat Islam merah.
Baik Teuku Bujang maupun Teuku Muhammad Said, berprinsip bahwa berjuang tanpa
dasar Islam,memunculkan korban harta dan jiwa secara sia sia.
Dalam
setiap kesempatan temu ramah dengan rakyat, Teuku Muhammad Said mengobarkan
semangat kebangsaan agar mareka cinta Indonesia. Saat itu semangat kebangsaan
Teuku Muhammad Said diperoleh dari Nationale Indische Partij (NIP).
Pada
tahun 1921, di lanschap Lanschap Mukim Lhokseumawe terjadi penyerangan Pasukan
Muslimin, tentunya perjuangaan mareka memakai jalur Mukim Cunda. Akibatnya
Teuku Muhammad Said mendapat teguran dari Gezahhebber/Contreleur Lhokseumawe
dan Asisten Residen Aceh Utara di Sigli. Sementara itu, pasukan Marsose yang ganas dan buas itu, bila penyerangan
Pasukann Muslimin di suatu daerah selesai. Mereka meminta uang dengan paksa
dari Kepala Kampung dalam jumlah besar yang harus dilunasi dalam tempo 15
menit. Bila tidak, ianya ditembak langsung. Pernah orang orang yang dicurigai,
dipenggal leher dan dimasukkan dalam daftar penjahat. Daftar dimaksud untuk
memenuhi quota pembunuhan pejuang yang ditetapkan. Kasus ini menjadi sorotan
Teuku Muhammad Said di Lhokseumawe dan ketakutan bagi rakyatnya. Begitu juga
kasus lain, bila pasukan Muslimin menyerang bivak Belanda, letusan perbutir
peluru harus dibayar f.10.
Akibat
rasa ketakutan dari perlakuan Marsose, penanaman rasa kebangsaan, enggan
membayar pajak ke Belanda karena tidak keadilan, rakyat mulai melakukan
persiapan pemberontakan, Para pemuda dan santri di pedalaman Buloh Blang Ara
melakukan latihan beladiri dan cara memegang pedang. Mereka dididik dan dilatih
oleh mantan pasukan muslimin yang sudah menetap di kawasan itu.
Para
pemuda dibekali oleh mantan pejuang perang Aceh taktik berperang melawan
pasukan Marchose, yang pantai menggunakan pedang dan bela diri dalam perang
semesta Aceh tahun 1899-1915 di tanah Pasai. Sementara itu, Teuku Muhammad
Saaid Cunda memperkenalkan koperasi bagi rakyatnya. Implikasinya, semua hasil
bumi tidak diserahkan kepada tengkulak Cina. Gegara berjuang untuk rakyat dan melengser
Belanda dari Aceh via Syarikat Islam dan Persatuan Moeslimin Bersatu,beliau dibuang ke Kupang. Sebagai ganti jabatan
beliau, Belanda mengangkat Teuku Mahmud (1922-1942).
Suncho Cunda
Tatkala
Jepang masuk ke Indonesia 1942, Teuku Muhammad Said masih di tempat pembuangan
Indonesia Timur. Beliau dimasukkan ke
dalam camp militer di Kupang sebagai syarat untuk dapat dikembalikan ke Aceh. Di tempat
kelahirannya, Teuku Muhammad Said diangkat kembali oleh Jepang menjadi
hulubalang Mukim Cunda dalam jabatan Sunco. Beliau menggantikan abangnya
Teuku Chik Mahmud yang diangkat oleh Belanda sebagai Zelfbestuurder Mukim Cunda, pasca pembuangannya ke luar Aceh
(1920- 1942).
Jabatan Guntjo,
sungguh berat, terutama mengenai tanaga romusya (kerja paksa), pengambilan
pemuda-pemuda menjadi Heiho, Gyogun, Tokobet, dan mengumpulkan
padi menurut jatah yang dtentukan. Gunco berdiri di antara dua api: sayang
rakyat digasak dari tentera Jepang, melaksanakan perintah Jepang Rakyat
teraniaya. Tidak jarang Sunco itu mengalami nasib tragis. Mareka disiksa dan
dibunuh seperti Teuku Cut Amad Peureulak, Teuku Raja Jeumuat Lhoong, Teuku
Muhammad Hasan Geulumpang Payong, Teuku Sulaiman Muntasik.
Ketua KNI Kabupaten Aceh Utara
Pascapembentukan
pemerintahan Keresidenan Aceh dan kabupaten Aceh
Utara, Teuku Muhammad Said diangkat menjadi
kepala negeri (camat) kenegerian Muara
Dua oleh Luhak (Bupati) Aceh Utara, Teuku Muhammad Husen Simpang Ulim. Teuku Muhammad Said menjabat kepala negeri
setempat 12 Desember –
14 Januari 1946. Atas prestasi kerjanya yang baik, beliau diangkat menjadi Bupati
Pidie pada 15 Januari 1946.
Bupati Pidie
Dalam
mensikapi penurunan polarissi politik di Kabupaten Pidie, Gubernur Sumatera
dengan suratnya tanggal 15 Januari 1946 bernomor 353, Teuku Muhammad Said Cunda
diangkat menjadi Kepala Luhak Pidie. Beliau menggantikan Teuku Cut Muhammad
Hasan karena desakan barisan ulama pembaharuan. Sementara ulama dayah tetap
loyal kepadanya.
Pengangkatan
Teuku Muhammad Said Cunda menjadi Kepala Luhak Pidie di saat pergulatan politik
dalam eskalasi memanas di daerah Pidie. Polarisasasi antara barisan elite bangsawan dan rakyat
jelata tentunya dimotori oleh Johan
Ahmad, kader PKI setempat. Teuku Muhammad Said dianggap oleh Gubernur Sumatera
dan Residen Aceh sebagai sosok yang mampu merespon perkembangan yang telah
berubah di sana .
DIBUNUH
Suatu
hari, tepatnya tanggal 11 Desember 1945 Teuku Muhammad Said Cunda menerima
laporan dari masyarakat, bahwa pasukan meriam Teuku Daud Cumbok pimpinan Teuku
Ma’ Ali, hulubalang Samaindra menembak pemukiman Metareum. Gegara Beliau
langsung terjun ke lapangan, penembakan itu dihentikan. Begitu wibawanya Teuku
Muhammad Said.
Tanggal
15 Agustus 1945 lagi lagi milisi Cumbok menembaki pelarian anggota MBRU di
Meutareum dengan mortir. Di sana Teuku Muhammad Said memperoleh informasi dari
Teuku Daud Cumbok, bahwa kejadian itu terjadi karena kesalahan tehnis.
Teuku Muhammad Said Cunda melaporkan
seadanya secara resmi kepada MBRU. Mereka tersinggung. Namun demikian ia dapat
menelpon Mr. Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera yang saat itu berada di
Langsa. Ia menjelaskan, bahwa dia akan mempertemukan dua fraksi yang sedang bertikai
besok pagi. Namun, beliau diculik dan dibunuh oleh barisan republiken beraliran
sosialis- komunis, Pesindo medio Februari 1946.
Akibat kemangkatan Teuku Muhammad Said,
Gubernur Sumatera mengeluarkan surat pemberhentian yang bersangkutan nomor 204,
tanggal 11 Agustus 1946 dan mengangkat Teungku Abdul Wahab Seulimum menjadi
penggantinya.
. Nasib
Teuku Muhammad Said bak pepatah Aceh ”Tajak u glee jikap le Rimeung. Tajak u
krueng jikap le buya. Tawou u gampong jipoh lee bangsa. ( Indonesia: pergi ke
hutan, diterkam harimau, masuk ke sungai, ditangkap buaya dan pulang ke kampong
halaman dibunuh bangsa sendiri). Pepatah Aceh ini dapat diartikan, lepas dari
mulut harimau (resiko pembuangan Belanda ke Timor dan ancaman mati dari Jepang),
masuk mulut buaya (dibunuh oleh Pesindo).
Referensi:
1.
Muhammad Said, Aceh
Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1985;
2.
M.Nur El- Ibrahimy, Peranan Tgk. M.Daud Beureueh dalam
Pergolakan Aceh, (Jakarta: Media Dakwah, 2001;
3.
Abdullah Yacoub, “
Kisang Pengalaman dan Perjuangan Kemerdekaan 1945- 1949” dalam Kisah Perjuanga n Daerah Modal Republik
Indonesia Dari Serangan Belanda, (Banda Aceh: Beuna, 1990);
4.
Ahmad Fauzi, Harimau
Sumatera Dari Pidie: Mengaung di Jepang Demi Indonesia Merdeka, Banda Aceh:
Searfiqh, 2023, ;
5.
Tim, 50 tahun
Aceh Membangun, Medan: Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh berkerja sama dengan Pemerintah Daerah
Istimewe Aceh, 1995;
6.
M. Nur El-Ibrahimy, Kisah
Kembalinya Tgk Mohd. Daud beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia, Jakarta: M.
Nur El-Ibrahimy , 1980;
7.
Isa Sulaiman, Sejarah
Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997;
8.
Nazaruddin
Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah,
Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1999, hal.156;
9.
Ramadhan KH. Syamaun
Gaharu, Jakarta: Sinar Harapan, 1996