ULEEBALANG PIDIE

 

ULEEBALANG PIDIE ANTARA KESETIAAN DAN FITNAH

(Suatu Kajian Palagan Cumbok)

Oleh: H.T Ahmad Fauzi, Ph.D

  

Pendahuluan

Menurut C. Snouck Hurgronje, ulee Balang merupakan orang yang dipertuan di negerinya masing-masing dan memiliki legitimasi kekuasaan atas perpanjangan tangan dari Sultan kerajaan Aceh Darussalam Sebab disebut hulubalang bagi aparatur pamong praja itu tidak dapat dipisahkan dengan moda kemiliteran Kesultanan Aceh Darussalam yang dikenal dengan jabatan komandan kompi (uleebalang) Askar Sipha-ie Khan Baradur. Pada masa Belanda uleebalang adalah sosok pamong praja dengan nama zelbestuurder.mareke dididik oleh sekolah pamong para, Kweekschool dan Akademi Pamong Praja (Opleidingschool Voor  Inlandse  Amstenaren (OSVIA) Bandung. Sementara di zaman zepang didiposisikan sebagai lurah (sunco). Sementara distrik disebut Gunco yang kedudukannya setara zelbestuurder.

 Pada awal era kemerdekaan Republik Indonesia, para sejumlah 26 uleebalang di Pidie menyokong proklamasi 17 Agustus 1945 di Aceh yang disampaikan oleh Teuku Nyak Arief, ketua KNIPDA dan kemudian Residen Aceh. Mareka juga mareka menyambut baik pembentukan  Angkatan Pemuda Indonesia  atas dana pribadi Teuku Nyak Arief dan Teuku Hamid Azwar. Secara umum mareka secara jujur menyerahkan senjata dan padi simpanan untuk Jepang yang belum diserahkan kwartal genap 1945 kepada API. Namun, akibat berputarnya arah politik dari sistem pemerintahan monarsi  ke  sistim demokrasi,  sebagian uleebalang, apalagi generasi tua non didikan Belanda tergusur dari pemerintahan dan terisolasi dalam masyarakat.

Penggusuran para mantan eleebalang berlaku sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Kabupaten (KNIPK) Pidie. Selain ketua komite dimaksud ditunjuk oleh Residen Teuku Nyak Arief dan Ketua KNIPDA Aceh, Tuanku Mahmud (1945), maka anggotanya dipilih dari  cendikiawan PUSA dan nasionalis Indonesia lainnya. Mengingat mayoristas anggota KNIPDA Pidie  berasal dari rakyat biasa, maka secara atomatis jabatan  strategis di daerah tersebut, seumpama camat diduduki oleh lulusan madrasah dan dayah.

Bukti sejarah bahwa eleebalang Pidie mendukung  NRI

Coba bayangkan, jabatan camat yang belum pernah mencicipi lembaga pendidikan pamong praja  mengatur negara ini. Sementara para mantan uleebalang dimarginalkan. Namun demi pelaksanaan sistem demokrasi di Aceh, terpaksalah para mantan elite uleebalang itu menerimanya.

Sementara itu jabatan Bupati Teuku Cut Hasan dan dua Wedana: Lamlo dan Meureudu, masing masing Teuku Daud Cumbok dan Teuku Mahmud merupakan titipan langsung Residen dan Gubernur Sumatera. Namun masih ada uleebalang lain yang mempunyai kompetensi dalam menejemen pemerintahan di Aceh yang luput dari amatan Teuku Nyak Arief dan Mr. Teuku Muhammad Hasan untuk diposisikan menjadi kepala wilayah, yaitu Teuku  Teuku Umar Njong Lueng Putu. Gegara ini para pelaku sejarah agaknya mareka berdua keliru pada permainan anak catur dalam mengatur pemerintahan di Pidie. Andaikata Teuku  Teuku Umar Njong Lueng Putu sekurang kurangnya di angkat menjadi Kepala Wilayah Seulimum tentunya bibit polarisasi politik di Pidie tidak muncul.

Keabsahan asumsi di atas  itu secara kejiwaan dapat diukur pada pada poin ke-2 isi surat Teuku  Teuku Umar Njong Lueng Putu tanggal 5 Agustus 1945 di atas dan kesungguhan kedatangannya ke Medan Oktober 1945.


Selaras dengan itu, di Sumatera Timur muncul fenomena sama seperti di Aceh. Di sana barisan PKI, PESINDO dan PNI bersaing dalam merebut kekuasaan di dalam KNIPDA dan pemerintahan. Para Sultan di Tanah Melayu Raya: Langkat, Deli Sungai Bilah, dan Asahan dimarginalkan dengan stigma feodal. Para sultan di sana meminta kepada Gubernur Sumatera agar Tanah Melayu Raya dijadikan sebuah kesultanan Melayu di bawah Negara Republik Indonesia, seperti Kesultanan Jogjakarta Hadininggrat. Namun, Mr.Teuku Muhammad Hasan, selaku Gubernur Sumatera menjawab permintaan itu sebagai hak pemerintah agung (Pusat).

Keinginan positif bangsawan Melayu Raya di Sumatera Timur terinspirasi para uleebalang cendikiawan Pidie via bangsawan Melayu, Tengku Muhammad Nasir, pangeran Kenegerian Karang Tamiang yang kawin dengan adik kandung Teuku Muhammad Daud Cumbok. Begitu juga Teungku Abdul Hamid Bentara Pineng, adik Mr. Teuku Muhammad Hasan kawin dengan salah seorang putri Sultan Langkat. Mareka berdua merupakan inspirator bagi Teuku Muhammad Daud Cumbok agar Pidie diikutsertakan dalam restrukturisasi pemerintahan di sana model petisi Kesultanan Melayu di Sumatera Timur.

Keinginan rakyat untuk menjadikan Kesultanan  Istimewa dalam bingkai Republik Indonesia pernah mucul di tahun 1950 di Riau. Mareka menuntut dihidupkan kembali Kesultanan Siak. Namun pihak Jakarta menganggap  fenomena itu sebagai pelangi di Negara Republik Indonesia. Mareka menolaknya.

Di Aceh, awal Oktober 1945, Teuku Muhammad Daud Cumbok, Wedana Lamlo mengutus satu rombongan eleebalang Pidie di bawah pimpinan Teuku Umar Njong Lueng Putu atas biaya Teuku Tjut Hasan, Bupati Pidie  dan Teuku  Husen Trumon, Bupati Aceh Besar untuk menemui Mr. Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera di Jalan Istana No. 15 Medan.  Di samping itu juga Teuku Muhammad Daud Cumbok menitip pakaian dan bantuan lainnya via Sukardi dan dan Ibrahim Pane  kepada mantan atasannya Swier, Controuler Lamlo yang sedang ditahan dalam kurungan Jepang di Berastagi.

Dalam pertemuan singkat, Teuku Umar, uleebalang Njong melaporkan bahwa PUSA akan membasmi uleebalang di Pidie dan mengutarakan maksud para uleebalang setempat  tentang keinginan mareka untuk menjadikan Pidie sebuah sesultanan di bawah Negara Republik Indonesia seperti seperti Kesultanan Jogjakarta Hadininggrat. Permohonan ini pun ditolak oleh Gubernur Sumatera.  Sebaliknya, beliau meminta mareka berdiri teguh di belakang  pemerintah Republik IndonesiaI dan mendukung perjuangan kemerdekaan tanah air serta menyesuaikan diri dengan alam demokrasi  yang sudah muncul di Indonesia.

Selepas menjumpai Gubernur Sumatera, rombongan Teuku Umar Njong menuju markas NiCA ”Pension Welhelmina” di Jalan Bali. Ia ingin menyerahkan bingkisan Teuku Muhammad Daud Cumbok kepada mantan atasannya itu. Namun gegara perintah T.E.D Kelly kepada NICA agar  mengembalikan anggotanya dari tawanan Jepang ke Berastagi agar tidak muncul kemarahan rakyat, pertemuan Teuku Umar Njong gagal.

Teuku Umar Njong saat itu menginap di Hotel  de Boer Medan. Agaknya di sana ia sempat bertemu dengan pejabat NICA. Rombongan dari Aceh ke tampat  dimaksud diketahui Mr. Muhammad Hasan.

PKI  Penyulut Polarisasi Politik Di Pidie 

Kedatangan Teuku Umar Njong ke markas NICA dan menginap di Hotel de Boer, agaknya dibuntuti oleh PKI Keresidenan Sumatera Timur. Tidakkah Abdul Xarim Ms, pegawai tinggi  diperbantukan pada Gubernur Sumatera seorang kader PKI yang baru keluar dari pembuangan di Digul, Papua mengatur siasat agar Gubernur Sumatera ke Sumatera Selatan 6 Februari 1946?. Siasatnya ini bertujuan agar  mulusnya membantai bangsawan di Sumatera Timur dan Pidie di tahun 1946

Selaras dengan itu, di samping menjadi pejabat tinggi Kantor Gubernur Sumatera Abdul Karim Ms berprofesi sebagai wartawan professional sejak zaman Belanda. Tentunya ia dapat berkomunikasi langsung dengan wartawan kawakan di Sigli, Djohan Ahmad. Ia melaporkan kepada Djohan Ahmad  bahwa rombongan Teuku Umar Njong telah membuat rapat dengan Belanda di Medan untuk memasukkan NICA ke Aceh.

                                                                     Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Infor Abdul Karim Ms di atas, membuat Johan Ahmad berambisi untuk mendekati para barisan Pesindo dan Laskar Sabilillah Pidie, masing masing Hasan Ali dan Umar Tiro. Hasutan Djohan Ahmad terhadap barisan uleebalang adalah, bahwa rombongan Teuku Umar Njong mengunjungi markas NICA di Medan dan berupaya memasukkan Belanda ke Aceh. Isu ini termakan oleh partisan Pesindo dan Laskar Mujahidin. Akumulasinya sampai sampai para penceramah yang mengaku diri ulama mencaki maki para uleebalang diluar batas kewajaran dan tradisi orang awam.

Sebalik itu para uleebalang pun didekati oleh Djohan Ahmad akhir September 1945 dengan membawa isu, bahwa para ulama PUSA dan rakyat sedang berencana untuk membasmi mareka.  Menyadari isu fitnah dimaksud, mareka melapurkan kepada Gubernur Sumatera di Medan.. Hasutan itu tentunya tidak lepas dari peran Djohan Ahmad, wartawan dan kader PKI di Sigli.

Teuku Muhammad Daud Cumbok, Wedana Lamlo dan mantan uleebalang Cumbok merupakan sosok pemimpin tegar sejak zaman Belanda. Ia tidak akan pernah menerima makian dan fitnahan dari pihak manapun terhadapnya. Namun kenyataannya ia bersikap lunak terhadap Teungku Haji Muhammad Krueng Kalee dan tidak mau bertemu dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan Gubernur Sumatera dalam menyelesaikan pertikaian antaranya dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh secara diplomatik.

Sebagai pengambilan sikap, pada 22 Oktober 1945 Pang Ulee Peunaro, Teuku Bentara Umar Keumangan mengundang para uleebalang se Aceh ke Beureunun, Pidie. Pertemuan dimaksud membicarakan  masalah konsolidasi kekuatan dan memperkuat solidaritas  antara elite uleebalang.

Inti dari pertemuan dimaksud,  Teuku Umar Keumangan  menyatakan pendapatnya, bahwa uleebalang tidak keberatan dengan kemerdekaan Indonesia, tapi mereka membutuhkan legitimasi terhadap kekuasaan mereka oleh rezim pemerintah yang baru. Lebih jelas lagi menurut versi Anthony Reid, bahwa Teuku Umar Keumangan menyatakan  bahwa kaum uleebalang tidak mempunyai perselisihan  dengan gerakan kemerdekaan yang sedemikian rupa, tetapi memerlukan jaminan bahwa kekuasaannya akan diakui oleh pemerintah baru.

Dari pernyataan Pang Ulee Peunaro Teuku Bintara Umar Keumangan di atas, tesis saya tentang keinginan para eleebalang di sana terungkap, bahwa mareka berkeinginan untuk menjadikan Pidie sebuah sesultanan di bawah Negara Republik Indonesia seperti Kesultanan Jogjakarta Hadininggr tiada meleset.

Memang Teuku Umar Keumangan, seorang uleebalang terkaya di Pidie dengan persawahan, perkebunan luas dan pabrik penggilingan padi terbesar di sana. Namun ia dan Teungku Muhammad Daud Beureueh pernah membuat kesalahan besar bagi Aceh. Bukankah mareka tokoh penentang utama dalam upaya Belanda untuk mengembalikan Aceh menjadi sebuah kesultanan dibawah Sultan Tuanku Mahmud?. Tahun 1930-an, Teuku Umar Keumangan  aktif mempengaruhi para uleebalang di pantai timur Aceh agar gagasan Belanda yang diusulkan oleh para ulubalang Aceh Besar itu ditolak. Begitu juga, Teungku Muhammad Daud Beureueh secara tegas juga menolaknya

Andaikata para uleebalang di Pidie   berniat baik ke arah  rekontruksi Kesultanan Aceh seperti Jogjakarta Hadininggrat, tentunya ada landasan hukum dan historis bagi generasi setelahnya dari nasionalis Indonesia untuk menuntut secara damai tahun 1945- 1949, agar Aceh sebuah Kesultanan bersyariat di bawah bingkai Republik Indonesia. Namun apa hendak dikata, kepentingan dan ambisi masing masing dua kelompok yang saling berbeda menyebabkan nasib tragis diterima oleh generasi penerus mareka  di kemudian hari.

Berkaitan dengan pertemuan di Beureuneun itu tidak mulus yang diharapkan. Hal demikian ketidak hadiran  beberapa elite uleebalang se Aceh. Di antara para elite uleebalang yang absen pada Moesjawarah Besar Oelebalang di Beureuneun adalah dari Sagi XXII 23 orang; dari Sagi XXVI, 27 orang; dari Sagi XXV, 26, ulebalang Pineung Pidie, uleebalang Peusangan, ulebalang Idi, uleebalang Peureulak, uleebalang Langsa, sejumlah raja di Tamiang dan Gayo.  Di sini jelas menunjukkan terjadinya perbedaan kepentingan dari masing masing uleebalang.


 

                                                          Teuku Muhammad Daud Cumbok (Dok. Drafmaq).


Pendirian BPK 

Gegara mendapat serangan verbal dari pihak barisan rakyat yang dimotori oleh ulama pembaharuan, pada 10 Desember 1945 para uleebalang Pidie membuat rapat kembali di Lueng Putu di rumah Teuku Laksamana Umar Njong. Pertemuan itu dihadiri oleh 9 uleebalang, antara lain: Teuku Laksamana Umar Sendiri, Teuku Cut Hasan, Teuku Pakeh Sulaiman dan Teuku Muhammad Daud Cumbok. Hasil rapat, antara lain Teuku Muhammad Daud Cumbok ditunjuk sebagai pimpinan. Tokoh muda ini mempunyai tabiat tegar dan tidak mau menyelesaikan masalah dengan diplomasi.

Dalam rapat tersebut, para elite  uleebalang setempat  bersepakat untuk mengambil tindakan tegas terhadap lawan lawan mareka. Guna menunjukkan tindakan tegas tersebut, dengan suara bulat rapat menggariskan rencana untuk melakukan penangkapan besar besaran. Di antara sasaran mareka yang utama adalah sejumlah pemimpin pemuda dan tokoh PUSA.

Selaras dengan itu Teuku Ibrahim Alfian menulis:

“sungguhpun terdapat beberapa uleebalang di daerah Pidie yang tidak menghadiri pertemuan itu, namun mareka berhasil mengambil sikap terhadap gegara gerakan revosioner yang sedang berkembang di seluruh Aceh umumnya dan Pidie khususnya. Sikap itu diujutkan dalam langkah  usaha pembentukan markas uleebalang di bawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Cumbok yang berkedudukan di Lamelo. Untuk menandingi partisan yang telah dibentuk di Aceh, lalu mareka memandang perlu membentuk badan partisipan  yang akan menjadi ujung tombak mareka yaitu Badan Penjaga Keamanan (BPK) dan Perhimpunan Indonesia (PI).

Keputusan rapat di atas,  berakibatkan situasi di lapangan  menjadi buruk.Pasukan cap tombak  Badan Penjaga Keamanan (BPK) bertindak lebih jauh. Akibatnya Mr. Teuku Muhammad Hasan  berangkat ke Sigli tanggal 11 Oktober 1946 untuk mendamaikan pertikaan antara Teuku Muhammad Daud Cumbok dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Di pendopo, Mr. Muhammad Hasan Gubernur Sumatera  mengumpulkan dua barisan pertikaian secara terpisah. Ketika  Mr. Teuku Muhammad Hasan meninggalkan Sigli 12 Oktober 1945 situasi di sana dapat dikatagorikan  cukup baik, meskipun kekerasan masih berlangsung di beberapa kampung. Namun beberapa hari setelah meninggalkan Sigli, ketika berada di Langsa, Mr. Teuku Muhammad Hasan menerima telegram dari Teuku Muhammad Said Cunda, Bupati Pidie yang baru diangkat.

 Dalam telegram tersebut Teuku Muhammad Said Cunda mengatakan, bahwa untuk menghindari antagonism antara barisan eleebalang dan ulama, ia sedang mengusahakan untuk mengundang ke dua belah pihak itu untuk menghadiri satu kenduri sebagai aplikasi adat Aceh dalam perdamaian antara dua barisan yang sedang bertikai.

Kesuksesan missi Mr. Muhammad Hasan untuk meredakan komplik antara barisan uleebalang dan ulama, memunculkan iktikat jahat dari barisan Pesindo yang bernaung dalam Partai Komunis Indonesia. Abdul Xarim Ms, pejabat tinggi kantor Gubernur Sumatera dan tokoh PKI  Medan yang mengikuti perjalanan dinas Gubernur Sumatera ke Pidie 11- 12 Oktober 1945 masih berada di Sigli. Ia tidak senang barisan uleebalang berdamai dengan barisan ulama. Akibatnya, Teuku Muhammad Said Cunda ditangkap dan dibunuh oleh partisan Pesindo setempat.

Teuku Muhammad Said Cunda,.

Kenapa situasi di Pidie segera memburuk kembali sepeninggal Gubernur Muhammad Hasan?. Jawabannya menurut Nazaruddin Syamsuddin adalah:

“ Saya kira sangatlah mungkin  bahwa memburuknya keadaan di sana disebabkan oleh ikut campurnya  pihak ketiga , yaitu orang- orang sayap kiri. Sebagaimana yang juga  terjadi kelak dalam revolusi social  di Sumatera Timur. Unsur unsur kiri agaknya memainkan  telah memainkan peranan penting  dalam mempertajam rasa permusuhan  di antara kedua kelompok yang berikai di Aceh itu. Anti feodalisme berangkali merupakan faktor yang telah mendorong  orang orang kiri untuk melibatkan diri dalam konflik tersebut. Rupanya Abdul Karim Ms amat khawatir menyaksikan  bagaimana berhasilnya  Gubernur Muhammad Hasan mendinginkan suhu konflik yang sedang memanas saat itu. Ia menyaksikan diri bagaimana kelompok ulama reformis  menjadi puas, setidak tidaknya pada waktu itu, karena Gubernur telah memenuhi harapan mareka untuk memberhentikan  Teuku Cut Hasan dari jabatan Bupati Pidie, sementara Teuku Nyak Arief tdak lagi aktif sebagai residen. Di lain pihak  kaum uleebalang juga cukup puas , sebab Gubernur Teuku Muhammad Hasan  telah menjamin keamanan mareka dengan jalan mengirimkan satu unit polisi yang cukup kuat”.

 

Selanjutnya Nazaruddin menulis:

 

“kenyataan ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Xarim. Untuk mencapai tujuan kaum kiri, yaitu kaum feudalism , ia tidak dapat membiarkan suhu konflik menjadi dingin. Oleh sebab itu,  sewaktu Muhammad Hasan kembali ke Medan, Xarim tetap tinggal di Sigli untuk sementara waktu. Kegiatan- kegiatan yang dilakukan di Sigli lebih kurang sama dengan  apa yang dikerjakan  sebelumnya oleh tokoh kiri lainnya. Natar Zainuddin yang sangat sibuk mengkritik kaum ulama dan uleebalang dalam merampas senjata Jepang”

 

Memang jelas, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal kemerdekaan Indonesia di Aceh aktif melakukan aktifitas politiknya, Aktifitas mareka tentunya dikoordinir di Medan, pusat pemerintahan Sumatera. Tujuannya antara lain menghapus kaum adat di Aceh yang mareka sebut kaum feodal dan merampas harta mareka untuk dibagikan kepada rakyat jelata.

Di pihak lain, gegara sikap Teuku Muhammad Daud Cumbok menentang Gubernur Sumatera dalam menciptakan kedamaian di Pidie, ia pun dipecat dari jabatan Kepala Wilayah Lamlo dan digantikan oleh Teuku Puteh Tanjung Padang Tiji. Pemecatannya antara lain gegara  Abdul Xarim Ms melapur kepada Gubernur Sumatera, bahwa sewaktu rakyat mengucapkan “ Mardeka”, Teuku Muhammad Daud Cumbok menjawab “ Mardiki”. Pada hal ucapan dimaksud berdasarkan dialek daerahnya di Pidie. Seperti rakyat Jawa menuturkan ´mardhiko”.

Sikap pemecatan Teuku Muhammad Daud Cumbok dari jabatan dimaksud di atas, membuat dirinya bertambah tegar kelakuannya. Ia memanfaatkan mantan Marsose dari Indonesia Timur di Aceh yang dilepas oleh Jepang. Gegara mareka ini, info penginjakan al-Quran dikembangkan oleh pihak ulama.

Abdoel Karim  


Sikap Amir Husein Al- Mujahid 

Amir Husein Al- Mujahid mempunyai persepsi tersendiri dalam mensikapi palagan Cumbok. Kendatipun, sebagian penulis sejarah Aceh telah membuat kekeliruan tesis terhadapnya, seolah olah ia harus bertanggungjawab terhadap pembantaian terhadap ratusan hulubalang dan bangsawan di Pidie, ia mempunyai sikap tersendiri. Pada hal palagan Cumbok, Meureudu dan Lueng Putu dipicu oleh perselisihan antara MBRU yang menyeret partisan Divisi Teungku Chik Ditiro dan PUSA dengan nasionalis Indonesia, hulubalang. Pertikaian ini dimotori oleh Partai Komunis Indonesia.

Sikap tegas Amir Husein Al- Mujahid, dalam perjuangan mempertahankan 17 Agustus 1945 perlu adanya kekompakan semua elemen anak bangsa Indonesia di Aceh. Selaku Panglima partisan Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) Divisi Teungku Chiek Di Paya Bakong yang sama levelnya dengan partisan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) pimpinan A. Hasjmy, partisan  Teungku Chiek Ditiro pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Angkatan Pemuda Indonesia pimpinan Kolonel Syamaun Gaharu saat itu, ia menginginkan agar sebutir peluru pun tidak diarahkan ke sesama anak bangsa, akan tetapi ke pihak Jepang dan Belanda beserta sekutunya.

Teungku Amir Husein Almujahid meramalkan, bahwa kedatangan marinir Belanda di Sabang dan sekutu di Medan bakal membutuhkan senjata dan kekompakan antar golongan di Aceh. Namun ramalannya kelak muncul dalam menghadapi sekutu di palagan Medan Area tahun 1947- 1948, Tentara Republik Indonesia dan partisan Divisi Mujahidin dari Aceh, kehabisan peluru, gegara pertikaian di Cumbok, Meureudu dan Lueng Putu. Konon, gegara kehabisan peluru dan senjata, Teungku Muhammad Daud Beureueh pernah menyerahkan 600 pedang Marsose saja lengkap dengan sarung dan tali pinggangnya kepada Hasan Saleh untuk keperluan anak buahnya dalam pertempuran di Medan Area tahun 1947.

Sementara itu, selaku Panglima partisan Tentera Perjuangan Rakyat Divisi  Teungku Chiek Di Paya Bakong Teungku Amir Husein Almujahid tidak mau mencampuri daerah yurisdiksi teritorial milisi Teungku Chik Ditiro. Lagi pula Teungku Muhammad Daud Beureueh selaku pimpinan partisan  terbesar di Pidie dan Aceh Besar itu tidak pernah ikut campur dalam palagan Langsa dan Tamiang untuk menghadapi 2 batalion pasukan Jepang  di bawah komando Jendral Sawamura pada 25- 31 Desember 1945. Inilah dasar sikap Teungku Amir Husein Almujahid tidak memperdulikan surat undangan Teungku Abdul Wahab Keunalo, ketua PUSA Aceh Besar untuk memerangi Cumbok.

 Sikap Amir Husein Al- Mujahid, Panglima partisan Tentara Perjuangan Rakyat Teungku Chiek Di Paya Bakong itu bukanlah arogan. Sewaktu pasukan menyerang Langsa dan Tamiang, hanya bantuan moril dan materil dari Tentara Kemanan Rakyat dan pasukan milisi Teuku Chik Paya Bakong yang  diterimanya.

 Sementara itu, dalam misi penebaran nasionalisme Indonesia di wilayah Pidie 1920- 1942 sebagai guru dan ketua Pemuda PUSA, Teungku Amir Husein Al mujahid tidak pernah terjadi gesekan dengan para uleebalang di sana. Ia bergaul rapat dengan para uleebalang nasionalis Indonesia di Aceh, seumpama Teuku Tjhiek Muhammad Thajeb Peureulak, Teuku Pakeh Mahmud Pidie, Teuku Thjiek Mahmud Meureudu, Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong dan Teuku Ibrahim Bintara Pineung.

Berkenaan dengan kasus pembunuhan Teuku Muhammad Said Cunda,medio Februari 1946, Teuku Amir Husein Al-Mujahid bersama partisan Tentara Perjuangan  Teungku Chik Paya Bakong sedang bersiap siap menyerang Jepang di Kuala Simpang. Makanya Teuku Amir Husein Al-Mujahid tidak dalam palagan Cumbok, Lueng Putu dan Meureudu menyerang BPK.

Amir Husein Al-Mujahid berpendapat bahwa para hulubalang Pidie pimpinan Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong berjasa besar dalam pergelaran Musyawarah Besar Persatuan Ulama Seluruh Aceh ke -I di Kuta Asan Sigli tahun 1940. Tanpa jaminan para hulubalang di Sagi XII dan Sagi VI Pidie, pertemuan akbar itu mustahil mendapat izin Belanda.

Menurut Amir Husein Al- Mujahid pula, persoalan Pidie merupakan akumulasi pertentangan  dan kepentingan pribadi antara oknum pimpinan partisan rakyat (ulama pembaharuan dan Nasionalis) dengan aristokrat (kaum adat) setempat. Sementara Teuku Amir Husein Al-Mujahid sejak muda tidak pernah mempunyai sentiment dengan aristokrat di kawasan Pidie. Dakwahnya tidak menyentuh kebencian terhadap hulubalang daerah itu.

Begitu juga dalam kapasitasnya sebagai guru agama pada madrasah Kelapa Satu Sigli, Teuku Amir Husein Al- Mujahid bergaul secara baik dengan hulubalang, ulama non PUSA di Pidie seumpama Teungku Muhammad Amin Jumphoh, ulama dan pendakwah yang disenangi oleh kaum aristokrasi dan rakyat jelata setempat.

Dari uraian di atas, pantas dikatakan, bahwa para elite uleebalang di Pidie korban fitnah Partai Komunis Indonesia. Itu diakui sendiri oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh didepan keluarga Teuku Azwar Hamid di Jakarta.

Referensi:

1.    Ahmad Fauzi, Teuku Muhammad Hasan Gelumpang Payong (1882-1944) Harimau Sumatera Dari Pidie Mengaung di Jepang demi Indonesia Mardeka, Banda Aceh: Searchfiqh, 2023;

2.    Amin, Mayor Jenderal Tgk. Amir Husein Al- Mujahid, Tokoh Revolusioner Dalam Kemerdekaan RI Di Aceh,Banda Aceh: Bandar, 2017.

3.    Anthony Reid, Sumatera Revolusi dan Elit Tradisional, Jakarta: Komonitas Bambu, 2012;

4.    C. Snouk Hurgronje, Aceh Dimata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun, Jakarta : (Yayasan Sokoguru, 1985);

5.    Hasan Saleh, Kenapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Gafitri,  1992;

6.    M.Nur El- Ibrahimy, Peranan Tgk. M.Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh, Jakarta: Media Dakwah, 2001Mutiara Fahmi dkk, Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng  Kalee (1886-1973) Ulama Besar dan Guru Umat, Banda Aceh: Yayasan Darul Ihsan Tgk. Hasan Krueng Kalee, 2010;

7.      Nazaruddin Syamsyuddin, Revolusi di Serambi Mekkah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1998;

8.    Sayid Ali Bin Chik Al- Idrus, Memori Sejarah Perjuangan Di Aceh (1942-1953), (Banda Aceh: Pena,  2009);

9.    Teuku Muhammad Hasan, Mr. Teuku Muhammad Hasan, dari Aceh ke Pemersatu Bangsa,Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 1999;

10. https://en.wikipedia.org/wiki/Abdoe%27lxarim_MS;

11. https://sinarpidie.co/news/pertarungan-wacana-yang-berdarah/index.html

12. https://sinarpidie.co/news/tentara-jepang-dalam-peristiwa-cumbok/index.html;

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

Lebih baru Lebih lama