PROF. DR . H. SAFWAN IDRIS, MA
(1949- 2000)
KELAHIRAN
Safwan Idris dilahirkan di Gampong Siem, Kecamatan Darussalam
Kabupaten Aceh Besar pada tanggal 5 September 1949 dari basil perkawinan
Teungku Idris Mahmud dengan Siti Hafsah Ali. la adalah anak ketiga dari enam
bersaudara, yaitu: Jailani Idris, Nurfuadi Idris, Safwan Idris, Armia Idris,
Tasnim Idris dan Samwil ldris. Melihat sosok Safwan Idris dan sisi garis
keturunan kedua orang tua, dalam dirinya mengalir semangat menuntut ilmu khususnya ilmu
keislaman yang tinggi dan juga semangat juang di jalan kebenaran yang selalu
menggelora.
JEJAK LELUHUR
Orang Tua
Teungku Idris adalah putera pengawal Teuku Nyak
Banda, Panglima Sagi XXVI. Ia lahir tahun. Pendidikan awalnya adalah Gobernoment
Volkschool Lam Reung. Selepas belajar di sekolah rakyat pemerinyah Belanda, ia
dikirim oleh ayahnya untuk belajar di Dayah Krueng Kale (1931- 1941).
Pada
Februari 1941, Belanda menyerang rumah Teuku Nyak Arief, gegara ia mempimpin
sebuah gerakan bawah tanah untuk menjemput Jepang di Malaya. Gerakan dimaksud
bernama Fujiwara Kikan.
Akibatnya, Teungku Idris meninggalkan Dayah Krueng Kalee dan bergabung dengan
Laskar Sagi XXVI pimpinan Pang Abdurrahman (Opas Raman) untuk melakukan
penghadangan terhadap KNIL di Jembatan Lam Nyong. Dengan demikian rumah Teuku
Nyak Arief selamat dari pembakaran.
Implikasi dari palagan Lam Nyong Sagi XXVI,
Teungku Idris terpaksa lari ke Kruengkalee untuk menghindari penangkapan dari
pasukan Gosenson yang dikenal ganas itu.
Di era pendudukan Jepang (1942-1945), Teungku
Idris hanya mengajar murid- murid Dayah Krueng Kalee yang datang di sekitar
Tungkop, Siem dan Lambaro bersama Teungku Abdul Rahman Kebouk dan Sayed
Sulaiman Al- Mahdaly. Saat itu Jepang sempat mengintrogasi Teungku Idris,
gegara postur tubuhnya mirip seperti orang Belanda. Namun Ulubalang Tungkob,
Teuku Abdul Aziz dan Hulubalang Lambaro, Teuku Muhammad Hasan menjadi saksi,
bahwa Teungku Idris adalah orang Aceh berketurunan Turkiye
Pada tahun 1943, Jepang memanfaatkan putra
putri Aceh untuk masuk wajib militer Heiho, Dokubet dan Guygun.
Namun atas rekomendasi Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Teungku Muhammad
Ali Lampisang serta Suntyo Tungkob, Teuku Abdul Aziz, maka Teungku Idris
selamat dari wajib militer Jepang. Namun pemuda Muhammad Syam, Usman Makam, ayah saya, Teuku Muhammad
Hasan Mahmud dan lainnya sempat dididik menjadi Heiho dan Guygun.
Mareka rata- rata saat itu diberi pangkat sersan.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, sekolompok
cendikiawan Kutaraja mengambil sumpah bersama untuk menyatakan, bahwa bergabung
dengan Indonesia yang diploklamirkan 17 Agustus 1945. Implikasi dari sumpah
setia ini Teuku Nyak Arief, Teuku Hamid Azwar mendirikan Angkatan Pemuda Aceh
(API). Di pihak lain Belanda yang telah menduduki Sabang melakukan manufer
militernya di atas daratan Aceh Besar. Akibat sikap Belanda ini, Teungku
Muhammad Hasan Krueng Kalee membentuk Barisan Mujahidin di Sagi XXVI Aceh
Besar.Barisan ini dipimpin oleh putranya, Teuku Syeikh Marhaban dan sejumlah
abituren Dayah Krueng Kalee, termasuk Teungku Idris Lamnyong.
Tahun 1946, ayah saya Teuku Hasan Mahmud, salah seorang
pengawal robongan pemimpin PUSA dan pimpinan Angkatan Pemuda Indonesia
(API):
Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Amir Husein Akmujahid, Usman Peudada,
Teungku Muhammad Zein, Abubakar Amin, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap,
Syeikh Abdul Hamid dan lainnya untuk mengikuti sumpah jabatan Teuku Nyak Arief
menjadi Residen di masjid raya Baiturrahman. Ia sempat kagum melihat Lasykar
Mujahidin Sagi XXVI yang mengawal acara pelantikan dimaksud dengan senjata
lembing, pedang dan senjata rampasan dari Jepang mengamankan acara pelantikan
dimaksud. Di antara yang dikenal hanya dua pemuda bermata biru dan berpostur
Eropa, yaitu Teungku Idris Mahmud Lamnyong dan Pemuda Zainon Lambaro Angan.
Selaras dengan itu, sejak tahun 1945, Idris
Mahmud Lam Nyong mengikuti latihan militer di Lembah Krueng Kale dan Perbukitan
Lambaro Angan di bawah pelatih API/ TKR. Diantara pelatihnya adalah Abdurrahma
Bireuen. Sesudang mengikuti pendidikan mileter, Teungku Idris Mahmud Lam Nyong
diangkat menjadi anggota Badan Pembatu API (BAPA). Ia ditugaskan menjaga pantai
Ujong Batee.
Tahun 1947, Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee
mengirim Barisan Mujahidin ke palagan Medan Area untuk menggempur Belanda yang
ingin masuk kembali ke Aceh. Mareka berada di bawah komando partisan Mujahidin. Di
antaranya adalah: Teungku Muhammad Yusuf Kruet Lintang, Teungku Muhammad
Nurdin, Teungku Syeikh Marhaban, Teungku Sufi Ismail dan Teungku Idris Lamnyong.
Teungku Idris Lamnyong, sosok ulama berkomitmen
tinggi dalam mengamalkan ilmu agama yang dianutnya dan patuh kepada komando pelatih
militernya di bidang kebersamaan dalam perjuangan. Ia menolak pengurusan pensiun
Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Sikap komitmennya dapat dilihat
pada sikapnya tahun 1953. Sewaktu
gurunya Syeikh Muhammad Hasan Krueng Kalee menolak ajakan Teungku Muhammad Daud
Beureueh untuk bergabung dalam gerakan partisan DI/TII di tahun 1953 dan
melarang semua muridnya untuk mengikuti gerakan dimaksud, Teungku Idris
Lamnyong tetap mengabaikan larangan gurunya.
Mensikapi larangan itu, Teungku Idris bersama
alumni Dayah Krueng Kalee: Kamaruzzaman Hasan Kruengkalee, Affan Gadeng, Yahya
Keumireu , Ishak, M. Sufi Ismail. Hasan Reudeu Lam Puuk, Ibrahim Cawiek, A.
Hamid Mireuk Taman dll mengerakkan perjuangan Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia di Kecamatan Darussalam. Gegaran mareka untuk menuntut pemberlkuan
syariat Islam di Aceh sebagaimana janji Ir. Soekarno di hadapan Gubernur
Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo tahun 1948 dan Teungku Hasan Krueng Kalee.
Mareka menganggap, bahwa langkah DI/TII Muhammad Daud Beureueh legal, setelah
sejumlah pertemuan tingkat nasional gagal.
Bila dalam struktur DI/TII Sagi XXVI, Mayor TII
Muhammad Yahya Keumireu ditunjuk sebagai Komandan Batalion 026 dan Letnan Satu
TII Ishak sebagai komandan operasi, maka Teungku Idris ditunjuk sebagai Komandan Kompi Markas
(DAN KOMPIMA).
Teungku Idris Mahmud turun gunung tahun 1958
dan membantu pendirian Komplek Pelajar Mahasiswa Darussalam ( KOPELMA). Saat
itu, kebanyakan mantan anggota DI/TII mengurus Veteran Republik Indonesia
setelah memperoleh amenesti dari Pemerintah Republik Indonesia, namun ia
menolaknya. Pada tahun yang sama, ia ditunjuk oleh Teungku Muhammad Ali Suudy,
KUAKEC Darussalam menjadi imam masjid
Lam Nyong sampai tahun 1991. Sejak itu, ia disebut Abu Idris Lam Nyong.
Sikap konsistensi Teungku Idris Mahmud Lamnyong dapat
dilihat pula pada perdebatannya dengan
Hasbi Ash-Shiddieqy di Mesjid Lam Nyong Darussalam. Pada tahun 1963, Hasbi
Ash-Shiddieqy memberikan ceramah di berbagai tempat di Banda Aceh. Sebagai
lulusan Dayah Krueng Kalee yang pernah berkiprah di bidang dakwah dan
pendidikan di sana sejak tahun 1927 sampai ditangkap dan diasingkan ke Takengon
(1946-1950) oleh Pesindo Aceh, ia sudah dikenal luas oleh masyarakat Aceh
Besar. Keberadaan Hasbi Ash-Shiddieqy kedua kalinya ke Banda Aceh adalah atas
permintaan Yayasan Pembangunan Darussalam yang diketuai oleh A. Hasjmy untuk
menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Araniry.
Implikasi dari
dakwah Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Idris bersama alumni Dayah Krueng Kalee
meminta senior mareka ini untuk membuka pengajian di masjid Lamn Nyong. Dalam pengajian dimaksud, muncul
perdebatan antara Hasbi Ash-Shiddieqy dan Teungku Idris Lam Nyong. Perdebatan
seru yang dilandasi oleh ilmu usul fiqh, nahwu dan llmu manthiq membuat Teungku
Hasbi Ash-Shiddieqy kalah. Akibatnya perdebatan itu berujung pada pelaporan
kepada polisi, bahwa Teungku Idris Lam Nyong menghina Teungku Hasbi
Ash-Shiddieqy. Namun, akibat perdamaian yang dilakukan oleh pengurus Yayasan
Pembangunan Darusslam, yang melibatkan Syamaun Gaharu dan A. Hasjmy, pelaporan
itu dicabut oleh Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia punkemudian meminta berhenti
dari jabatan Dekan Fakultas Syariah IAIN Araniry.
Adapun ibu Safwan Idris, Teungku Siti Hafsah Ali adalah awalnya guru pengajian
putri di Balai Neubeut milik ayahnya di Krueng Kalee. Ia seorang ibu rumah
tangga yang rela suaminya berjuang untuk
menagih janji pemerintah pusat supaya syariat Islam di Aceh diberlakukan. Ia
pun siap mendidik dan memberi makan putra putrinya yang masih kecil: Jailani
Idris, Nurfuadi Idris, Safwan Idris, Armia Idris, kendatipun ia menghadapi
tantangan berat.
Leluhur
Safwan
Idris, adalah seorang cucu ulama karismatik pada masanya di Aceh Selatan dan
Aceh Besar (1920-1960). Mengenai jelak leluhurnya, di pihak ibu Ahmad Fauzi
menulis, bahwa Teungku Syeikh Muhammad Ali Lampisang lahir di Siem Sagi XXVI
Mukim Aceh Besar.. Ayahnya, Teungku Umar berasal dari Lamnga. Sementara ibunya
adik kakak dengan ibu Teungku Syeikh
Muhammad Hasan Krueng Kalee.
Syeikh Muhammad Ali
Lampisang mengawali pendidikan pada Volkschool Lamreh Mukim VII dari IX
Mukim Tungkob tahun 1911-1914 M. Belajar agama berlangsung di Meunasah Baro
pimpinan Teungku Muhammad Said dan Dayah Kubouk pimpinan Teungku Syeik
Musannif. Selepas belajar di dayah ini, beliau melanjutkan pendidikan ke dayah
Lam Pisang Sagi XXII Mukim pimpinan Teungku Muhammad Said, putra Teungku Abbas
Tanoh Abee.
Selepas
belajar di Lam Pisang, Syeikh Muhammad Ali Lampisang direkomendasi oleh
sepupunya Teuku Syeikh Muhammad Hasan Krueng Kalee untuk belajar di al-Madrasah
al- Irsyadiyah al- Diiniyah, Yan. Di sana ia belajar dengan tekun tahun
1915-1921. Sekembali dari Semenanjung Melayu, ia mengajar di Meunasah Blang
Siem Sagi XXVI Mukim.
Sewaktu Tuanku Raja Keumala membutuhkan
restorasi dayah di Aceh Selatan, Teungku Syeikh Haji Muhammad Hasan Krueng
Kalee memberi rekomendasi kepada Teungku
Syeikh Muhammad Ali Lampisang untuk membuka dayah di Blang Pidie. Dayah
dimaksud diberi nama al- Madrasah al-Khairiyah. Di masa kepemimpinannya
tahun 1921- 1930, al- Madrasah al-Khairiyah banyak didatangi aneuk
meudagang dari pantai barat selatan Aceh. Anak didiknya antara lain Teungku Syeikh
Muhammad Waly al-Khalidy, Abu Adnan Mahmud dan Syeh Bilal Yatim Suak.
Pasca kemunculan Syarikat Islam (SI) dan
Perjuangan Teuku Cut Ali di pantai selatan Aceh, Belanda mencurigakan Teungku
Syeikh Muhammad Ali Lampisang, bahkan ia diintimidasi oleh KNIL. Untuk itu ia
bersama keluarganya memutuskan untuk pulang ke Krueng Kale Aceh Besar tahun
1930. Kepindahanya ke kampung halaman disesalkan oleh rakyat setempat.Ilmu dan
pengayomannya yang tulus kepada mareka
dibutuhkan. Di kampong halaman,Teungku Syeikh Muhammad Ali Lampisang mengajar
di dayah Meunasah Blang Krueng Kalee.
Gegara kekacauan Mukim XXVI yang dilakukan
Belanda, Desember 1941- Februari 1942 serta pendudukan Jepang 1942-1945 hatta
perjuangan DI/TII Aceh 1953 – 1961, ilmu yang diperoleh di Dayah Lam Pisang dan
al-Madrasah al-Khairiyah, Yan belum tuntas diberikan kepada muridnya. Teungku
Syeikh Haji Muhammad Ali Lampisang mangkat tahun 1960. di Kampung Siem Krueng
Kalee.
Sementara jejak leluhur Safwan di di pihak ayahnya, Armia Idris menulis, bahwa kakeknya bernama Teungku Mahmud, keturunan ulama Turki yang dikirim menjadi ulama di Sagi XXVI masa Kesultanan Aceh Darussalam. Ia mempunyai putra antara kain, Idris, lahir 1920. Putranya ini dalam umur 7 tahun diwajibkan oleh Teuku Nyak Arief bin Teuku Nyak Banta, Panglima Sagi XXVI Aceh Besar untuk belajar di Volkschool Lamreung, mukim III Lamgugob (1927- 1933).
Sebagai imam masjid Lamnong, Teungku Mahmud menginginkan putranya, Idris untuk menggantikannya kelak sebagai ulama di Mukim II Lamgugub dan sekitarnya. Akibatnya, selepas belajar di Volkschool, Idris kecil dimasukkan oleh ke Dayah Kruengkale tahun 1934 pimpinan Teungku Syeikh Muhammad Hasan Krueng Kalee, alumunus Madrasah….. Yan Malaya dan Al-Madrasah al-Tsauliyah Mekkah. Di dayah ini, Idris belajar dengan tekun selama 7 tahun terus menerus (1934- 1941) dan mendapat gelar wiyata “ Teungku”. Demikianlah sekilas jejak leluhur Safwan Idris
PENDIDIKAN
Sejarah Folklore di Aceh sejak kesultanan
Peureulak, Pasai dan Aceh Darussalam, pendidikan anak dimulai dengan bacaan al-Qawaaid
al-Baghdadiyah, pengenalan karakter huruf huruf Arab dan
bacaan surat surat pendek al-Qur’an. Pendidikan ini dilakukan, baik di rumah
maupun langgar (Aceh:meunasah). Anak anak, disamping belajar kitab al- Qawaid
al- Baghdadiyah, mereka disuguhi juga dengan pengenalan dasar fiqih, tauhid
dan akhlak. Safwan kecil mengikuti pendidikannya
dengan baik melalui tradisi ini via bundanya Teungku Siti Hafsah Ali.
Safwan Idris merupakan cucu pertama
Teungku Syeikh Haji Muhammad Ali Lampisang. Tentunya, ia sangat menyayanginya.
Setiap hari pada jadwal tertentu mengajarinya berbudi luhur dan sopan santun.
Pada tahun 1955, dalam usia 7 tahun, Safwan diterima masuk Sekolah
Rakyat Islam (SRI) Tungkob. Setiap pagi ia berjalan kaki 2 KM dari rumahnya
bersama kakak, paman dan temen teman dari Kemukiman Siem ke Tungkob.
Sebenarnya, di dekat desanya didapati Sekolah Rakyat Negeri Siem, di Lam Reh. Namun tahun 1953 dibakar
oleh Tentara Islam Indonesia.
Pada tahun 1958, Teungku Idris Lamnyong pindah ke Rukoh, Kemukiman Silang
Cadek. Alasan utama ia pindah ke sana adalah menjauhkan diri dari operasi TNI
di Krueng Kalee yang merupakan basis Batalion 026 Resimen Istimewa Tentera
Islam Indonesia. Sementara alasan sekunder adalah, bahwa di bekas tanah
Maskapai N.V. Rumpet para petani dari tiga kemukiman di Kecamatan Darussalam:
Silang, Siem dan Tungkob membuka ladang pertanian di sana. Teungku Idris Lam Nyong, Teungku
Ismail Beurabung dan kakek saya, Geuchiek Musa Lam Puja membuka kebun di lokasi
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Negeri Rukoh sekarang.
Akibatnya, Safwan dengan
kakaknya beserta anak anak dosen, antara lain Rusdy Ali Muhammad, bersepeda
dari Komplek Pelajar dan Mahasiswa Darusslam ke Tungkob. Safwan menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Rakyat Islam Negeri Tungkob tahun 1962 dalam usia 13 tahun.
Dalam perkembangan selanjutnya, Safwan remaja
masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 Tahun Banda Aceh. Gurunya saat itu
adalah Ramly Maha, Abbas, Mahyiddin Yusuf, Muhammad Thayeb Wajdi, Hendon,
Nurdin Samalanga, Muhammad Hasan Krueng Raya dan Arabi Ahmad. Safwan berangkat
dari rumahnya setiap pagi ke sekolah dengan bus kampus “ Robour”. Di antara
temannya yang setia adalah Syukri Daud Lam Keunueng Tungkob, Armiya Lam
Timpeung, Rusydi Ali Muhammad, Hanafiah
Ismail.
Selama belajar di Pendidikan Guru Agama
(PGA) 6 Tahun Banda Aceh, Safwan belajar sore dan malam di Dayah Darul Ulum
Lueng Ie Ulee Karieng, pimpinan Teuku Teungku Usman Fauzi. Dari riwayat ini,
agaknya waktu membujang Safwan Idris dihabiskan untuk belajar di sekolah dan
dayah. Semuanya itu atas permintaan Teungku Idris Lamnyong dan kepatuhannya.
Setelah menamatkan Pendidikan Guru Agama
(PGA) 6 Tahun Negeri Banda Aceh di tahun 1968, Safwan Idris mendaftar diri
menjadi mahasiswa Jurusan bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.
Kecendrungan Safwan masuk jurusan bahasa Inggris, gegara bimbingan dan gurunya
A. Gani Asyik selama belajar di sekolah guru dimaksud.
Gegara keluarnya kebijakan Kementerian
Agama Republik Indonesia, bahwa IAIN itu hanya mempunyai kewenangan
mengembangkan ilmu pengatahuan Islam belaka, maka Jurusan Bahasa Ingrris
Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry terpaksa ditutup. Dosen tetap bahasa Inggris
di sana, seumpama: Ibu Zuraida, Fatimah Nyak Na dan Amiruddin Nur hanya ditugaskan menjadi dosen bahasa Inggris pada jurusan Bahasa Arab dan
Pendidikan Agama saja. Akibatnya, selepas menggondol ijazah Serjana Muda (BA)
Safwan Idris belajar di program Sarjana Lengkap (Drs.) di Universitas Syiah
Kuala. Ia lulus belajar di program di maksud tahun 1976.
Sebagai pemegang ijazah Doktorandus
(Drs), Safwan Idris bercita cita untuk menyambung program pascasarjana di luar
negeri, Ia bersungguh sungguh mengikuti pendidikan khusus di bidang
pengembangan bahasanya lewat Lembaga Bahasa Unsyiah untuk mengikuti bimbinganTOEFL.
Berbekal tes ini, Safwan Idris dapat belajar di Wiscausin University.
University ini yang berkampus di Madison merupakan salah satu pusat pengabdian ilmiyah ( center of exellence)yang
besar di di dunia ini yang menampung
lebih kurang 40.000 mahasiswa dari berbagai Negara. Menurut safwan idris, bahwa
ia mendapatkan kesempatan untuk dapat belajar di universitas tersebut saja sebenarnya
sudah merupakan satu kehormatan istimewa dan ia telah merasakan keistimewaan
ini dalam suatu keasyikan studi yang hampir enam tahun lamanya.
Mengenai studi Safwan di Amerika, ia
menulis dalam memoarnya:
“University
of Wiscosin yang berkampus di kota Madison merupakan salah satu pusat
pengabdian ilmiyah (center of excellence) yang besar di dunia ini yang
menampung lebih kurang 40.000 mahasiswa dari berbagai negara. Mendapatkan
kesempatan untuk dapat belajar di universitas tersebut saja sebenarnya sudah
merupakansatu kehormatan dan keistimewaan dan penulis telah merasakan
keistimewaan ini dalam suatu keasyikan studi yang hampir enam tahun lamanya.
Penulis datang ke
University of Wiscosin-Madison tersebut pada bulan Januari 1977 sebagai seorang
petugas belajar dari IAIN Ar-Raniry Darussalam, Aceh, dengan biaya dari Mobil
Oil Indonesia Inc. Biaya tersebut diperoleh atas usaha bersama pimpinan IAIN
Ar-Raniry dan Gubernur Daerah Istimewa Aceh yang diberi wewenang untuk
menyalurkan beasiswa dari Mobil Oil Indonesia Inc., tersebut. Inisiatif semula
datang antara lain dari seorang pengajar Bahasa Inggris dari Australia yang
bernama Fadhullah Wilmot dengan Rektor IAIN Ar-Raniry, Dr. Ahmad Daudy MA
(Ahmad Daudy MA waktu itu). Setelah terjadi beberapa hubungan komunikasi antara
IAIN Ar-Raniry dan Mobil Oil Indonesia Inc, dan dilanjutkan dengan Gubernur
Aceh, akhirnya disetujuilah supaya IAIN Ar-Raniry mengirimkan calonnya untuk
beasiswa Mobil tersebut. Pada waktu itu Mobil memberikan dua beasiswa untuk
tiga orang calon. Setelah proses penyaringan akhirnya salah satu dari dua
beasiswa tersebut diberikan kepada penulis dan program studinya ialah Ilmu
Perpustakaan di Library School, University of Wisconsin-Madison.
Program Ilmu
Perpustakaan yang menjadi tujuan semula penulis pergi ke University of
Wisconsin, dalam keadaan normal sebenarnya dapat diselesaikan dalam waktu satu
tahun. Tetapi program ini terpaksa selesai dalam satu tahun dan satu semester
disebabkan ada anjuran untuk mengambil sebuah kuliah Bahasa Inggris yaitu
Composition. Penulis juga tidak menolak anjuran ini meskipun nilai tes Bahasa
Inggris (TOEFL) sebenarnya sudah mencukupi persyaratan masuk untuk Graduate
School (Setingkat dengan S II di Indonesia). Tetapi karena ternyata program
Bahasa Inggris di University of Wisconsin tidak begitu menarik, maka pada
semester selanjutnya penulis menolak anjuran untuk meneruskan kuliah
Composition tersebut dan ini tentunya dengan persetujuan dosen pembimbing atau
advisor. Tetapi kemudiannya pada waktu penulis sedang mempersiapkan diri untuk
Ujian Pendahuluan (Prelim) dan penulisan distertasi, penulis kembali mengikuti
latihan menulis yang dilaksanakan oleh Writing Laboratory (Laboratorium
Menulis) yang nampaknya sangat effektif karena kita mendapatkan bimbingan
langsung dari seorang pelatih.
Setelah satu tahun
belajar di University of Wisconsin tersebut penulis mulai berkenalan dengan
liku-liku systemnya dengan lebih mendalam, dengan perpustakaan-perpustakaan dan
koleksi-koleksinya yang mengagumkan dan dengan kemudahan yang tidak ditulari
oleh penyakit formalitas dan birokratis. Sebenarnya satu tahun saja belum cukup
untuk mengenal sistem dan fasilitasnya saja, apalagi untuk belajar dan
mengambil manfaat yang maksimal dari kebolehan sistem tersebut. Inilah salah satu
motif yang mendorong penulis untuk mencoba mendapatkan dukungan untuk
melanjutkan studi di Wisconsin tersebut dan tidak pulang ke Aceh dalam keadaan
setengah matang.
Alhamdulillah,
berkat usaha dan doa baik dari IAIN Ar-Raniry, dari Gubernur Aceh dan
orang-orang lain di Aceh, hasrat penulis untuk melanjutkan studi di University
of Wisconsin-Madison akhirnya terkabul juga. Penulis menyelesaikan program ilmu
Perpustakaan dengan predikat Masters of Art pada bulan Mai 1978. Dari bulan
Juni sampai dengan Agustus 1978, penulis menganggur saja sambil menunggu
keputusan apakah beasiswa Mobil tersebut akan diteruskan. Di samping itu
penulis juga mengusahakan untuk dapat beasiswa lain tetapi sampai saat beasiswa
Mobil itu diperpanjang usaha-usaha tersebut belum berhasil.
Studi lanjutan ini
bukan lagi di bidang Illmu Perpustakaan, tetapi karena beberapa pertimbangan
sudah dialihkan ke bidang Educational Policy Studies, yaitu suatu bidang yang
terdiri dari cabang-cabang Ilmu Filsafat, Sejarah, Perbandingan Pendidikan,
Ilmu-Ilmu Sosial seperti Sosiology, Antropologi dan Ilmu Politik dan Policy
Studies. Waktu yang habis dalam studi di Educational Policy Studies sampai
penulis menyelesaikan dissertasi Ph.D. ialah 4 tahun penuh. Jadi total waktu
penulis belajar di University of Wisconsin sebenarnya ialah 5 tahun 5 bulan
atau lima tahun tambah satu semester.
Program Ilmu
Perpustakaan yang ditempuh semula adalah Non-thesis program dan penulis
mendapatkan MA dalam Ilmu Perpustakaan tanpa menulis thesis apapun. MA dalam
bidang perpustakaan diberikan berdasarkan 30 kredit beban kuliah yang diambil
di Library School. Setelah penulis pindah ke Department of Educational Policy
Studies dengan tujuan memperoleh Ph.D. Degree maka penulis diharuskan kembali
menulis sebuah thesis untuk Masters Degree di Educational Policy Studies yang
merupakan pengalaman yang penting bagi setiap orang yang ingin mengikuti
program Ph.D. dengan menulis sebuah thesis di Department of Educational Policy
Studies dan mengumpulkan kredit-kredit seperlunya dengan mengikuti
kuliah-kuliah di Departemen tersebut akhirnya penulis sudah memenuhi syarat
untuk memperoleh sebuah MA lagi di Departemen itu. Setelah thesis tersebut
disidangkan dan dinyatakan lulus dengan nilai A maka barulah penulis diterima
sepenuhnya sebagai seorang Ph.D. Candidate atau calon Ph.D.
Masa sebelum penulis
diterima sebagai Ph.D candidate di Department of Educational Policy Studies
yang lamanya tiga semester itu adalah masa yang penuh dengan kekhawatiran,
kegelisahan dan resiko. Pada waktu penulis pindah ke Department of Educational
Policy Studies dari Library Science untuk melanjutkan dan mengikuti program
doktor penulis sebenarnya belum diterima sepenuhnya untuk program doktor
meskipun ke Aceh dilaporkan sudah diterima. Bahkan pada waktu penulis pindah ke
Department ini penulis baru diterima dengan status percobaan. Salah satu sebab
penting kenapa diterima dengan status percobaan ialah nilai satu-satunya mata
kuliah pendidikan, yaitu Filsafat Pendidikan, yang penulis dapat selama dua
tahun mengikuti kuliah di Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala ialah enam
(6), yaitu nilai terendah sekedar lulus saja. Keyakinan pada diri sendirilah
yang menyebabkan penulis berani mengambil resiko dengan menerima status
percobaan walaupun dalam laporan ke Aceh ada hal-hal yang tidak dilaporkan
sepenuhnya. Alhamdulillah, masa kritis tersebut telah diatasi dengan lulusnya
thesis di atas tersebut dengan hasil yang amat memuaskan yang secara otomatis
telah menguburkan hasil lulus jelek yang pernah penulis terima selama belajar
di Darussalam.
Judul thesis
tersebut di atas adalah THE INDONESIAN STUDENT MEVEMENT IN EDUCATIONAL AND
POLITICAL CONTEXT, yaitu suatu studi sejarah tentang kegiatan politik
kemahasiswaan Indonesia sejak zaman kolonial sampai tahun 1970. Dalam studi ini
analisa-analisa tentang politik kemahasiswaan dibahas atas dasar teori-teori
Political Socialization yang diturunkan dari studi-studi bidang politik,
pendidikan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Unsur utama yang menjadi pokok
pembahasan ialah phenomena kegiatan politik kemahasiswaan sebagai suatu
refleksi pengalaman pendidikan dan kebudayaan kelompok-kelompok mahasiswa
Indonesia yang berbeda-beda. Pengalaman-pengalaman pendidikan dan kebudayaan
yang berbeda-beda yang dialami oleh berbagai kelompok dan generasi mahasiswa
Indonesia memberikan suatu warna atau sifat tertentu dalam kegiatan-kegiatan
politik mereka dalam bentuk-bentuk reaksi terhadap penguasa atau keadaan
lingkungan mereka itu sendiri.
Setelah diterima
sebagai Ph.D. Candidate setelah lulus ujian thesis di atas, kegiatan
selanjutnya ialah mempersiapkan diri untuk mengambil ujian pendahuluan (Prelim)
sambil terus mengambil kuliah di departemen yang bersangkutan dan mengambil
kuliah minor di Department of Sosiology. Perlu diketahui bahwa program studi
doktor biasanya terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pokok yang disebut Major
dan unsur tambahan yang disebut Minor. Pada mulanya penulis ingin menjadikan
bidang ilmu perpustakaan sebagai minor, tetapi setelah memikir-mikir masalah
penelitian dan disertasi akhirnya dianjurkan supaya penulis mengambil Minor di
Bidang Sosiology atau Ilmu Sosial. Untuk Minor ini beban kuliahnya hanya
sepuluh kredit yang berbentuk paling banyak empat kuliah. Tetapi selama tiga
semester mempersiapkan diri untuk Prelim, penulis sudah mengambil 24 kredit
beban kuliah di Departement of Sosiology, sehingga bila ada waktu untuk menulis
sebuah lagi thesis di departemen tersebut, penulis sudah memenuhi syarat untuk
memperoleh satu lagi Masters degree. Tetapi penulisan ini tidak dipikirkan lagi
karena setelah lulus prelim maka mahasiswa tidak diperbolehkan lagi menulis
atau belajar untuk memperoleh Masters degree yang lain.
Ujian prelim yang
akan diambil untuk tahap berikutnya mempunyai bentuk yang berbeda-beda dari
departemen ke departemen. Di Department of Educational Policy Studies Penulis
mengambil prelim dengan menulis sebuah paper berdasarkan dua pertanyaan yang
telah disiapkan oleh Panitia Ph.D. untuk penulis yang terdiri dari tiga orang.
Pertanyaan dalam ujian prelim tersebut dibuat berdasarkan pokok-pokok pikiran
tentang riset dan disertasi yang telah penulis kemukakan pada panitia tersebut.
Pokok-pokok pikiran ini merupakan kelanjutan dari persoalan-persoalan yang
menjadi tumpuan dalam thesis MA yang tersebut di atas. Mulai dari diterima
sebagai Ph.D. Candidate sampai lulusnya prelim tersebut penulis menghabiskan
waktu tiga semester. Selama masa tiga semester sebelum mengambil prelim
tersebut penulis seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya diharuskan mengambil
kuliah penuh yaitu antara sembilan sampai duabelas kredit per semester. Karena
beban inilah akhirnya penulis berhasil mengumpulkan 24 kredit untuk bidang
Minor di sociology.
Penulis mengambil
prelim tersebut dalam bulan Ramadan 1401 atau Juli 1981. Sambil berpuasa yang
panjang harinya sampai lebih kurang 17 jam, penulis duduk dua minggu penuh di
perpustakaan menulis paper tersebut. Setelah paper itu disidangkan oleh Panitia
Ph.D. untuk penulis tersebut dan dinyatakan lulus, maka status penulis pun
dirubah menjadi seorang disertator. Sebagai seorang disertator, semua tugas
kuliah dibebaskan termasuk pembebasan dari keinginan untuk mengambil atau
menulis thesis untuk Masters degree dan seluruh kegiatan dipusatkan pada
penelitian dan penulisan disertasi. Orang-orang sering mengatakan bahwa dengan
lulusnya prelim tersebut paling kurang 50 persen dari ijazah Ph.D. itu sudah di
tangan. Ini disebabkan oleh pemusatan persiapan prelim itu pada bidang-bidang
yang diteliti atau biasanya orang baru diperkenankan mengambil prelim setelah
sebagian penelitiannya rampung. Demikian juga dengan penulis, pada waktu ujian
prelim itu diambil, sebagian besar data untuk penulisan disertasi sudah
terkumpul.
Disertasi yang
ditulis setelah prelim tersebut berjudul: Tokoh-tokoh Nasional: Overseas Education
And The Evolution Of The Indonesian Educated Elite, suatu studi tentang
ciri-ciri dan keyakinan Sosio-politik pemimpin-pemimpin Indonesia berdasarkan
pengalaman pendidikan mereka terutama pengalaman pendidikan di luar negeri.
Analisa dan pembahasan tentang ciri-ciri dan keyakinan Sosio-politik
pemimpin-pemimpin Indonesia tersebut didasarkan kepada sampel yang terdiri dari
70 orang tokoh-tokoh nasional dari Generasi 1928 (Lahir 1890 -1909), Generasi
1945 (Lahir 1910-1929) dan Generasi 1966 (Lahir 1930-1949).
Pembahasan-pembahasan tersebut didasarkan pada teori political socialization,
acculturation dan policy approach. Data yang dipakai dalam studi tersebut
umumnya berupa sejarah hidup dan buah pikiran tokoh-tokoh nasional yang telah
tercatat dalam berbagai bentuk dokumentasi. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari
bermacam-macam sumber mulai dari biografi atau autobiografi panjang lebar
sampai biografi singkat dalam bentuk referens seperti Who’s Who, dari
majalah-majalah serta koran-koran. Kebanyakan bahan-bahan ini diperoleh baik di
perpustakaan University of Wisconsin atau dipinjam oleh perpustakaan University
of Wisconsin, dari perpustakaan-perpustakaan lain di seluruh Amerika Serikat
yang dilaksanakan oleh bagian Interlibrary Loan (Bagian Pinjaman Antar
Perpustakaan). Studi ini bersifat sebagai suatu studi perbandingan antara
generasi, antara yang belajar di dalam dan di luar negeri dan antara yang
belajar di negeri Belanda, Timur Tengah dan Amerika Serikat setelah Perang
Dunia kedua.
Dari analisa-analisa
perbandingan antara berbagai kelompok pemimpin yang berbeda zamannya,
pengalamannya serta lingkungan pendidikannya dapatlah ditarik beberapa
kesimpulan. Perbandingan antara generasi 1928 dan awal 1945 dengan generasi
akhir 1945 dan 1966 menunjukkan bahwa yang terakhir ini lebih konservatif
sedangkan generasi yang lebih awal itu lebih self-conscious. Pengalaman belajar
di negara-negara yang berbeda-beda filsafat sosial politiknya, juga mewarnai
kecenderungan sosial politik dari pemimpin-pemimpin Indonesia yang belajar ke
luar negeri. Misalnya ide-ide pembaharuan Islam lebih nampak pada mereka yang
belajar di Kairo pada tahun 1920-an dan 1930-an. Pemimpin-pemimpin yang belajar
di Eropa Barat, khususnya negeri Belanda nampaknya lebih cenderung kepada Humanisme
Liberal, sedangkan yang belajar di Amerika Serikat dan satelit-satelitnya
sesudah Perang Dunia Kedua lebih cenderung kepada Kapitalisme Liberal. Karena
setelah Perang Dunia Kedua tadi ke luar negeri lebih terpusat ke Amerika
Serikat maka sifat konservatif pada fase akhir angkatan 1945 dan angkatan 1966
terlihat berkembang secara paralel dengan kecenderungan mereka kepada keyakinan
sosial-politik yang Condong ke kapitalisme liberal. Perbandingan-perbandingan
antara yang belajar di dalam negeri saja dan di luar negeri menunjukkan bahwa
yang belajar di luar negeri itu lebih liberal dan metropolitan keyakinan
politiknya sedangkan yang belajar di dalam negeri saja lebih idiosyn kretik dan
kultursentrik dari pola keyakinan sosial politiknya. Di samping hal-hal
tersebut di atas banyak unsur-unsur lain yang dibahas yang terlalu kompleks
untuk disimpulkan di sini.
Setelah disidangkan
pada Jumat, tanggal 10 September 1982, jam 10.00 sampai 11.30 pagi, penulis
diberitahu bahwa anggota panitia penguji yang berjumlah lima orang tersebut
sangat puas (very satisfied) dengan hasil usaha dan jawaban-jawaban dalam
sidang tersebut. Sebenarnya sebelum ujian pun penulis sudah yakin akan lulus,
karena menurut persyaratan tidak resmi antara penulis dengan pembimbing,
penulis baru boleh mengambil ujian sidang setelah penulis diyakini lulus
berdasarkan tolok-ukur si pembimbing itu sendiri. Secara resmi hasil sidang
tersebut akan disampaikan pada penulis pada bulan Desember 1982 yaitu pada
akhir semester Fall 1982 dan ijazahnya akan dikirimkan pada bulan Maret 1983,
yaitu tiga bulan setelah tanggal pengeluaran ijazah.
Dengan lulusnya
ujian Ph.D. tersebut sampailah suatu cita-cita yang telah lama bersemi di dalam
hati yang telah dicapai melalui berbagai liku-liku serta dukungan dan pertolongan
dari berbagai pihak, yang semuanya telah disebutkan dalam ‘Acknowledgement’
dari disertasi penulis yang tersebut di atas. Terima kasih yang seikhlas
ikhlasnya diaturkan kepada pimpinan dan semua kawan-kawan di IAIN Ar-Raniry
Darussalam, kepada Bapak Muzakkir Walad selaku Gubernur dan salah seorang
pemimpin daerah Aceh yang amat berjasa dalam menyalurkan dana Mobil Oil
Indonesia untuk peningkatan pendidikan di daerah Aceh, kepada Mobil Oil
Indonesia di mana banyak karyawannya telah terlibat dalam lingkungan studi ini
sampai selesai. Di samping itu terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya disampaikan kepada para advisor dan guru-guru besar lainnya
di mana penulis belajar selama berada di University of Wisconsin tersebut. Yang
patut sekali disebutkan namanya di sini ialah Prof. William L. Williamson yang
menjadi advisor selama penulis menjadi student di Library Sciense, Prof. Robert
Koehl yang menjadi advisor di Departement of Educational Policy Studies sampai
penulis selesai, Prof. Rischard Ruiz, Prof. Robert B. Tabachnick, Prof. Joe
Elder dan Prof. Andreas Kazamias yang semuanya turut sebagai anggota tim
pembaca naskah dan penguji. Di samping itu terima kasih juga disampaikan kepada
kawan-kawan di Departement of Educational Policy Studies dan di Muslim Student
Association yang telah turut memaniskan kepahitan studi dan hidup selama lebih
lima tahun belajar di Wisconsin. Akhirnya terima kasih dihaturkan kepada
ayah-bunda, sahabat dan sanak saudara yang lama sekali ditinggalkan dan
teristimewa kepada sang istri dan anak-anak yang tercinta yang dengan tabah
ikut mendampingi sampai selesai. Semoga Allah memberikan hidayah dan rahmatnya
kepada mereka semua.
Sepuluh hari setelah
lulus kami berangkat pulang meninggalkan kampus University of Wisconsin
barangkali untuk selama-lamanya. Memang senang pulang ke kampung, apalagi
mengingat kerinduan yang telah lama dipendam. Namun demikian harapan dan
kerinduan akan kampung halaman susah untuk mengimbangi cinta yang berjatuhan di
bangku-bangku kuliah, di kamar sang Profesor dan ruang ke perpustakaan yang
tiba-tiba tidak bisa dikunjungi lagi, di gang-gang antara rak-rak buku yang
sekali-kali dipergunakan sebagai tempat salat. Mudah-mudahan cinta yang telah
berjatuhan ini bisa ditebus di suatu masa oleh kebaktian kita semua untuk
membuat tanah air kita sebagai sumber ilmu ang tidak kalah dengan yang ada di
seberang sana “.
KELUARGA
Pada tahun 1974
Safwan idris melepas masa lajangnya. Ia mempersunting Alawiyah
AR, alumnus Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah IAIN Ar- Raniry..
Perkawinannya itu memberian empat anak: Kaswari Safwan, Iban Salda Safwan,
Nurul Isra Safwan dan Hani Dhafira Safwan. Alawiyah AR merupakan ibu rumah
tangga yang mempunyai peran penting dalam mendorong suaminya untuk belajar di
di tanah air dan Amerika.
KARIR
Pasca pemberontakan G.30.S/
Guru MIN dan Staff Kantor Departemen
Agama Kodya Banda Aceh
Selepas
menyelesaikan Pendidikan Guru Agama 6 Tahun Negeri Banda Aceh tahun 1968,
Safwan diangkat menjadi guru di MIN Sukadamai bersama temannya Syukri Daud Lam
Keunung Tungkob. Setiap pagi mareka mengauh sepeda dari kampung masing masing
ke Banda Aceh bejarak 7 KM. Tugasnya ini diakhiri tahun 1970. Ia pindah tugas ke
Kantor Departemen Agama Kota Madya Banda Aceh. Di sana atasannya, ……memberi
izin kepada Safwan untuk belajar di Jurusan bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar- Raniry sejauh tidak mengganggu tugas sehari hari, Coba bayangkan
bagaimana letihnya mendayung sepeda dari tempat kerja di Jalan Muhammad Jam ke
kampus Darussalam pulang pergi setiap
jam belajar. Kepahitan itu dirasainya oleh Safwan selama 3 tahun untuk memperoleh
gelar Sarjana Muda (BA) jurusan Bahasa Inggris.
Asisiten Dosen
Atas keberhasilan Safwan Idris belajar di
program Sarjana Muda Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah IAIN Ar- Raniry ,
almamaternya memintanya menjadi asisten dosen dan mengurus perpindahannya
menjadi staf pengajar tetap di
almamaternya. Di tempat tugas yang baru ini, Safwan mempunyai kesempatan
belajar di program Sarjana Lengkap pada Jurusan Bahasa Inggris Universitas
Syiah Kuala. Di sana ia dapat menyelesaikan studi tahun 1976, bahkan alumnus
IAIN Ar- Raniry pertama menjadi dosen
bahasa Inggris di almamaternya. Dengan
pangkat Asissten Ahli III/b). Jabatan
edukatif ini disandang oleh Safwan Idris selama 6 tahun, gegara menjadi petugas
belajar ke Amerika.
Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry
Sekembali dari Amerika, dengan tekat bulat Safwan Idris pulang ke Aceh untuk
mengabdi di almamaternya 1983, ia memberikan mata kuliah Capita Selekta
Pendidikan Islam kepada mahasiswa
terakhir program Sarjana (DRS.). Di samping itu ia diangkat menjadi Wakil
Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry periode 1983-1985.
Rektor Universitas Abulyatama
Pada suatu hari Rusli Bintang, pengusaha sukses
di Aceh menjumpai Safwan Idris. Dengan tutur bahasa tegas budaya Aceh Besar ia
berkata kepada Safwan “ Teungku Wan, saya punya uang dan anda punya ilmu dari Amerika. Saya ini anak yatim ilmu “.
Selanjutnya, Rusli Bintang berkata pula “ saya
mau mendirikan perguruan tinggi umum di Aceh. Dengan demikian kita dapat
membantu anak yatim di Aceh Besar. Mohon bantuan Teungku seperlunya”.
Atas
dasar perbincangan di maksud, Safwan Idris ditunjuk oleh Yayasan Abul yatama
menjadi Rektor Universitas Abul Yatama
pertama, tahun 1984. Universitas ia dibantu oleh Wakil Rektor II dan Wakil
Rektor III, masing masing Badruzzaman Ismail dan Muhammad Yahya.
Jabatan Rektor Universitas Abul Yatama diterima
Safwan Idris tentunya atas izin Rektor IAIN Ar-Raniry saat itu dijabat oleh
Ibrahim Husein. Rangkap jabatan Safwan Idris, di pagi hari sebagai Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry (1984- 1985) kemudian Wakil Rektor I IAIN Ar-Raniry (1986- 1996) di
pagi hari dan Jsore hari, tentunya sangat melelahkan. Namun gegara usia muda,
semangat kerja dan dukungan keluarga, membuat dirinya tidak mengalami kendala
apun. Di sana lah, Safwan mulai melakukan penegakan tradisi akademik dengan
kesabaran dan penuh bijaksana.
Safwan Idris mengakhiri jabatan Rektor
Universitas Abulyatama berakhir tahun 1996, gegara ia dipilih sebagai Rektor
IAIN Ar-Raniry.
Wakil Rektor I IAIN Ar-Raniry
Setelah menjabat sebagai Wakil Dekan
I Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry masa
1983-1985, safwan dipilih oleh Senat Al- Jamiah menjadi Wakil Rektor I IAIN
Ar-Raniry masa bakti 1996- 2001.
Rektor IAIN AR-RANIRY
Ketika usianya mendekati lima puluh
tahun, Safwan Idris dipilih oleh Senat Al- Jamiah sebagai rektor IAIN Ar-Raniry
untuk periode 1996- 2000. Ia merupakan rektor IAIN Ar- Raniry yang ketujuh.[8]
Masih pada tahun yang sama dan belum lama berselang dan acara pel antilean
sebagai rektor, Allah memberikan nikmat lain berupa kelahiran anak ke
empat yang selisihnya cukup jauh (empat belas tahun) dari anak ke tiga
ORGANISASI
Muslim Student Club (MSC)
Selain bergelut dalam bidang akademik,
Safwan banyak terlibat dalam organisasi sosial, keagamaan dan pendidikan.
Selama di Amerika, ia aktif di Muslim
Student Club (MSC). Sesampainya Safwan Idris ke University of Wiscossing
Madison, ia merasa sedih ketika pertama datang ke sana. Karena melaksanakan
shalat di lorong lorong perpustakaan. Saat itu tempat shalat tidak ada.
Kemudian baru diprakarsai oleh Muslem Study Club (MSC). yang beranggotakan dari
orang berbagai bangsa beragama Islam. Mareka
menyewa sebuah gereja yang dekat dengan kampus tersebut untuk
melaksanakan shalat Jum’at.
Selaras dengan itu, akhirnya
diprakarsai untuk mendirikan masjid.
Mesjid ini sewaktu Safwan Idris pulang ke Aceh tahun 1983 hampir rampung.
Safwan Idris juga bersyukur sempat duduk sebagai sekretaris umum MSC dan pada
waktu akhir ia mau pulang sempat duduk sebagai anggota Majlis Syura.
Suatu hal yang menarik bagi Safwan Idris
dan kawan kawan seiman di sana adalah mareka itu terdiri dari bermacam
macam mazhab yang dianut termasuk
mahasiswa dari Iran yang bermazhab Syiah, tetapi solidar dalam pelaksanaan
agama bersama. Tidak pernah dipertentangkan
siapa saja jadi imam, lain ikut semua.
Majlis Ulama Indonesia
Sekembalinya Safwan Idris ke Aceh, ia
dilibatkan oleh Ali Hajmy , Ketua MUI Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam
kegiatan MUI setempat. A. Hasjmy saat itu sempat mengutarakan rasa syukur
dengan nikmat yang dianugerahkan Allah,
yaitu dengan mendapat tenaga baru seorang Doktor di IAIN Ar-Raniry dan
MUI Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang cukup muda.
Bagi Safwan, ulama merupakan
individu-individu yang harus memberikan kontribusi yang lebih besar dalam
membimbing umat, karena itu ulama perlu dijaga dan dapat menjaga roh
keulamaannya. Komitmennya ini sering juga dikemukakan dalam rapat-rapat interen
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh (sekarang MPU Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam) dan MUI Pusat sebagai Dewan Pakar (1999-2005), serta di MUI Aceh
juga duduk sebagai Ketua Komisi Litbang (1988-1993). Melalui organisasi ini, ia
sempat menawarkan konsepsi aktual untuk umat.
Bazis Propinsi Daerah Istimewa Aceh
Di samping menduduki jabatan Wakil Ketua MUI Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, Safwan Idris juga dipilih menjadi Ketua Badan Zakat Infak dan
Sadaqah (BAZIS) Provinsi Nanggroe Aceh
Danissalam (sekarang Provinsi Aceh Darussalam). Keteriibatan dan perhatiannya yang begitu
dalam bidang zakat telah banyak .
mempengaruhi opini masyarakat umum,
bahwa Safwan seakan bukan seorang ahli dalam pendidikan, tetapi merupakan
seorang ahli dalam hukum Islam.
Inshafuddin
Inshafuddin
salah satu organisasi ulama dayah yang masih tetap eksis mempertahankan
pola-pola tradisional, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kitab kuning. Meskipun
demikian, mereka turut serta menyesuaikan diri dengan pola-pola kemoderenan.
Inshafuddin mampu mengambil peran bagi perubahan sosial dan keagamaan di Aceh.
Di organisasi ini, Safwan Idris dipercayakan
menjabat sebagai Ketua II Persatuan Dayah Inshafuddin Aceh dalam dua kali masa
jabatan (1986-1991 dan 1991-1996).
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Daerah
Istimewa Aceh
Pikiran-pikirarmya yang tajam dan
sederhana menjadikannya mudah diterima oleh semua elemen masyarakat. Ini
dibuktikan dengan dipilihnya Safwan sebagai Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia Daerah Istimewa Aceh (1989- 1994). Sebagai salah seorang pakar
kebijakan pendidikan Safwan Idris dipercayakan duduk sebagai Wakil Ketua I
Ikatan Saijana Pendidikan Indonesia D.I. Aceh selama dua kali pemilihan (1985-
1993 dan 1993-2000).
ICMI
Safwan Idris juga menjadi salah seorang tokoh
penting ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) Orwil Aceh. Hal ini terlihat
dari posisi-posisi yang pemah ia jabat, yaitu: Wakil Koordinator IV ICMI Orwil
Aceh (1995-2004), Ketua Div. SDM/P ICMI Orwil Aceh (1992- 1995), Ketua Badan
Konsultasi MASIKA ICMI Orwil I Aceh (1993) dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orsat
Aceh Besar (1992- 2000).
Dewan Pariwisata Daerah Tk.I Aceh
Sebagai seorang yang penuh humanis dan
santun Safwan Idns juga sering tampil dalam acara-acara kebudayaan. Bahkan ia
Biografi Ulama Aceh Abad ke-20 109 pemah menjadi Anggota Dewan Pariwisata
Daerah Tk.I Aceh (1995-2000) dan Wakil Direktur Pusat Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Islam di Aceh (1989-2000). Derah Istimewa Aceh sekarang namanya
menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Majlis Pendidikan Aceh
Kendatipun dikotomi antara pendidikan
agama dan umum di Aceh sam pai sebelum era
reformasi di kalangan cendikiawan kampus sebegitu menonjol, namun Safwan Idris
dapat masuk dalam barisan pemikir pendidikan gegara ia alumnus Universtias
Syiah Kuala dan IAIN Ar- Raniry. Ia sempat menawarkan tkemungkinan pendirian badan pendidikan Aceh yang berfungdi sebagai wadah pemikir; pemberi
pertimbangan, pemggerak partisipasi masyarakat; pengontrol dan penilai mediator
masyarakat dengan pemerintah Aceh. Ia bersama Darwis A. Sulaiman dan lainnya
kelak memuncukan Majlis Pendidikan Daerah. Majlis ini kelak berkembang menjadi
Majlis Pendidikan Aceh.
POLITIK
Dalam konteks konflik Aceh, Safwan Idris
berdin pada posisi netral, tanpa memihak kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
maupun TNI (Tentara Nasional Indonesia). Dia adalah intelektual dan ulama mumi
yang hanya berpikir tentang kebenaran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai
seorang tokoh masyrakat Aceh, boleh jadi ada yang menduga bahwa a cenderung
bersimpati pada GAM. Sebagai seorang rektor perguruan tinggi negeri serta telah
mengikuti pendidikan kursus singkat Lemhanas, orang juga bisa menduga
bahwa Safwan Idris adalah sosok yang
memihak kepada pemermta RI. Namun, ia adalah intelektual, ulama yang hanya
mengabdikan ilmunya kepada kebenaran dan tidak melibatkan diri ke alam konflik
yang teijadi di Aceh.
KARYA ILMIYAH
Bila dibandingkan dengan A. Hasjmy, Ismuha,
Rusjdy Ali Muhammad, masing masing guru besar IAIN Ar- Raniry, Safwan Idris
sedikit menulis karya ilmiyah, gegara
sibuk dalam urusan biokrasi, organisasi dan dakwah. Adapun karya-karya
ilmiahnya yang telah diterbitkan antara lain: Gerakan Zakat (dalam)
Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif (1997) dan Peranan
Pendidikan di Aceh dan Kaitannya dengan Peristiwa DOM (1999). sementara berupa
jurnal antara lain: Safwan Idris, “Peranan Agama Menghadapi Perkembangan”;
dalam Sinar Darussalam, Majallah Pengatahuan dan Kebudayaan, Nomor Khusus 150/151, (Darussalam: Yayasan Pendidikan
Daerah Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry , Januari- April 1986; Pengalaman Study di
University of Wisconsin- Madison Sebuah Memoir Singkat”, dalam Gema
Ar-Raniry, Darussalam Banda Aceh : Media Civita Academika IAIN Ar-Raniry,
No.40, Tahun XIV, Mai- Desember 1982,
Pengembangan pendidikan mu’amalat dalam lembaga Pendidikan Tinggi Islam,
Peranan ulama dalam Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Bingkai
Wawasan Kebangsaan, Refleksi Pewarisan Nilai- nilai Budaya Aceh: Peta
Pendidikan Dulu dan Sekarang, Peranan Generasi Muda dalam Melestarikan dan
Mengisi Keistimewaan Aceh.
ISTIRAHAT TETAP
Kronologis
Sabtu
16 September 2000, sekira pukul 06.00 WIB, Rektor Uin Ar-Raniry,
Safwan Idris sedang memulai aktifitas pagi di rumahnya di Jalan
Alkindi, Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Setelah melakukan kewajiban shalat
subuh, Safwan yang terbiasa dengan berbagai aktifitas akademiknya sejak pagi
buta ia memulai berbagai kegiatan dengan mengoperasikan komputernya di ruang
kerja rumahnya untuk mengeprint berkas pengajuan calon gubernur Aceh.
Sekira pukul 06:45 WIB, dua pria yang mengaku
sebagai mahasiswa mendatangi rumah Sang Profesor. Keduanya dipersilakan untuk
menunggu Safwan yang pagi itu sedang mempersiapkan bahan- bahan perkuliahan di
ruangan kerjanya. Tanpa curiga sedikitpun, setelah memberi tahu suaminya ada
tamu yang sedang menunggu, Ny Alawiyah pun pergi ke dapur.
Sedangkan
Safwan menemui kedua tamu yang sudah menunggunya. Tak lama setelah ditinggal
sang istri ke dapur, tiba-tiba saja terdengar suara letusan yang menggelegar.
Suara itu mengagetkan seisi rumah dan tetangga sekitar. Ny Alawiyah bergegas
mencari tahu suara yang diyakini berasal dari dalam rumahnya tersebut. Tak
disangka, Alawiyah melihat orang yang paling dicintainya itu tergeletak di
lantai dengan posisi telungkup dan tak sadarkan diri. Darah mengalir dari
wajahnya dan berceceran di lantai. Sedangkan kedua tamu tadi langsung lari dan
tancap gas dari rumah tersebut
Safwan
ditembak secara sadis oleh pelaku yang hingga kini masih menyisakan misteri.
Peristiwa itu tercatat oleh keluarga terjadi pada pukul 06.45 WIB pagi itu.
Peluru berhasil menembus bagian rahang kiri bawah hingga belakang. Senjata yg
digunakan pelaku adalah Pistol kaliber
380 buatan amerika, bukan senjata standar yang digunakan oleh TNI dan
Polri
Hingga
kini, pelaku maupun motif pembunuhan Safwan Idris masih menyisakan
misteri.
Polisi belum berhasil mengungkap pelaku
pembunuhan sadis tersebut. Upaya pengungkapan kasus pembunuhan
Safwan Idris telah dilakukan polisi sejak tahun 2000 mulai dari olah TKP
sampai uji balistik terhadap proyektil yang menembus tubuh Rektor IAIN
Ar-Raniry itu. Polda Aceh pada saat itu juga telah mengeluarkan sketsa wajah
pembunuh Safwan Idris berdasarkan keterangan para saksi mata termasuk
keterangan istri korban. Usaha menemukan pembunuh Safwan idris tidak hanya
dilakukan oleh polisi saja pada saat itu, tetapi GAM juga melakukan hal yang
sama. Panglima GAM wilayah Aceh Besar telah memerintahkan seluruh intelijen GAM
untuk mencari pembunuh Safwan Idris tetapi belum juga membuahkan hasil.
Koalisasi NGO HAM dan KKR Aceh meminta komnas HAM untuk serius dan segera
membentuk tim investigasi khusus untuk menelusuri pelaku pembunuhan safwan
idris dan tokoh – tokoh Aceh lainnya.
KESAN SETELAH KEJADIAN
Pengebumian
Jenazah
Pada tanggal
30 Mei 2000, sekitar 4.000 orang berkumpul di rumah
Teungku Idris Mahmud di Desa Lamreung untuk menghadiri upacara penghormatan
terakhir bagi Safwan Idris. Peserta upacara termasuk tamu penting dari berbagai
intansi di Banda Aceh. Para pembicara menyampaikan ucapan yang memuji Safwan Idris
sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam komunitas rakyat Aceh. Ayahnya,
Teungku Idris Mahmud memimpin jamaah dalam salat jenazah.
Rekan-rekan, kenalan, dan anggota masyarakat, turut hadir dalam
acara tersebut. Upacara ini mencakup pembacaan dalam bahasa Indonesia, doa,
serta petikan dari al-Quran. Banyak
mahasiswa dan warga setempat juga hadir untuk memberikan penghormatan. Setelah
salat jenazah, Safwan Idris dimakamkan di pemakaman keluarga desa Lamreung
Krueng Barona Jaya.
Reaksi umum
Kasus pembunuhan Safwan Idris mendapat perhatian luas, menyoroti
kekejaman kejahatan tersebut dan proses penyelidikan.. Komite Hubungan Elemen
Rakyat Aceh dari berbagai organisasi menyatakan "kesedihan yang
mendalam" atas "kematian mendadak dan tragis Safwan Idris. Mereka menyampaikan
"berlasungkawa kepada keluarganya. Begitu juga teman-teman, rekan kerja, serta seluruh
komunitas muslim di dunia, yang telah menerima kontribusi kepemimpinan internasional,
nasional dan daerah Aceh dari Safwan Idris. Mertua saya, Drs. H. Abdurrahman
Yusuf, MA, dosen Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Langsa
saat itu jatuh pingsan atas penembakan Safwan Idris. Hubungan mareka hanya
sebatas dosen dan mahasiswa serta aktifis Majlis Ulama, namun hubungan bathin
relatife kuat.
Setahun setelah kejadian,
anggota keluarga Safwan meninggalkan rumah dinas dan hijrah ke Yokyakarta. di
sana, para kolega Safwan Idris membeli rumah untuk mareka. Memang di akhir hidup
Safwan Idris tidak mempunyai harta kecuali tanah warisan dan sebuah rumah
sederhana dari hasil tabungan semasa kuliah di Amerika dan berdinas di
Kementerian Agama tahun 1977 sampat istirahat tetap 2000. Safwan Idris menghabiskankan uang sakunya
untuk bantuan pribadi kepada mahasiswa dan gegiatan silaturrahmi, baik dalam
maupun luar negeri. Saya merupakan salah seorang mahasiswa Program Pascasarjana
IAIN Ar-Raniry Angkatan IX 1997-2000, gegara kekecewaannya terhadap penolakan
Universitas Islam Antara Bangsa Malaysia sebagaimana saya sebutkan pada bagian
yang lalu. Umur saya saat itu 39 tahun. Sementara score TOEFL yang saya peroleh
saat itu 450. Itulah salah satu amal jariah Safwan Idris kepada anak bangsa
ini.
Legasi dan
pengakuan
Kontribusi dan karya Safwan Idris dalam falsafah dan pemikiran
di bidang pendidikan memberikan pengaruh besar pada kajian dunia Islam dan
dialog kebijakan pendidikan. Tulisan-tulisannya tetap relevan dalam diskusi
mengenai sekolah berasrama dan zakat. Dukungan Safwan Idris terhadap isu Sekolah berasrama dan Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan keterlibatannya dalam organisasi
seperti Majlis Ulama Indonesia Pusat dan Aceh; Majlis Pendidikan Aceh; Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat
dan Aceh serta Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Aceh (FORKOPIMDA), Inshafuddin
Aceh memberikan dampak yang mendalam pada internalisasi charakter building, dan
cara pemahaman pendidikan Islam dipahami dalam ranah akademik dan politik, baik
di Indonesia maupun Aceh.
Dalam sebuah pertemuan keluarga, saya di Kampung Lamreung tahun
2006, Teungku Idris Mahmud mengungkapkan bahwa ia pernah berdoa agar putranya
Safwan Idris menjadi seorang sarjana besar dan wafat sebagai syaahid, yang pada
akhirnya menjadi kenyataan.
Menurut info dari orang tua tua Lam Reung,
bahwa pelayat yang melakukan shalat berjamaah terhadap Safwan Idris lebih
banyak dari pelayat dan shalat jenazah Teuku Nyak Arief di tahun 1946. Selamat
jalan guruku. Engkau laksana mutiara
bangsa yang putus dari rantainya.
Pascalengsernya Suharto dari Presiden Republik
Indonesia dan mulainya era reformasi, eforia mencul di seluruh Indonesia. Aceh
yang masih belum lepas dari NKRI fenomena dimaksud bermunculan juga. Para aktifis
mahasiswa mulai berani merampas mobil pejabat IAIN Ar-Raniry pendatang luar,
seumpama mobil dinas Drs. Amir Hasan Nasutian, Dekan Fakultas Dakwah dan mobil
Dr. Arbiyah Lubis, Kepala Pusat Penelitian. Fenomena ini berlanjut kepada oknum
anggota partisan liar di sekitar kampus. Mareka ikut juga merampas mobil dinas
Dekan Fakultas Tarbiyah hanya sekedar
iseng iseng, bukan untuk kebutuhan operasional pasukan. Saya sempat naik gunung
untuk menghadap Panglima Muda GAM Wilayah Sagi XXVI, Teungku Muhammad Dahlan,
alias Teungku Ija Kroeng. Saya berkata” percuma Cut Abang menjadi panglima di
sini, kalau mobil Pak Safwan Idris nanti di bawa orang”. Makanya mobil dinas Rektor IAIN Ar-Raniry aman dari
penjarahan. Namun para penjarah mau mengambil mobil kapsul dinas Safwan Idris,
namun ia berkata “ mobil ini saya gunakan untuk berdakwah, jangan diambil” dan
saya tidak punya mobil pribadi. Saat itulah mulai muncul kegelisahan pertama Safwan
Idris. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, Abdul Hamid Ibrahim, Kepala Biro
IAIN Ar-Raniry menyerahkan mobil kijang tua dengan alasan lebih kuat naik
gunung.
Selaras dengan itu, selang beberapa hari
kemudian datang anggota partisan GAM meminta Safwan Idris untuk memberikan
sejumlah uang pajak nanggrou. Safwan menjawab, bahwa uang sudah diarik ke
Jakarta. Sementara uang sisa itu milik mahasiswa. Penarikannya harus
sepengatahuan mareka. Kejadian ini merupakan penyebab kegelihahan kedua Safwan
Idris. Ia sempat berkata kepada
keluarganya untuk pindah ke rumah pribadinya dan mundur dari jabatan Rektor
IAIN Ar-Raniry.
Kegelisahan Safwan Idris sempat diketahui rekan
rekannya di Kantor Depatemen Agama
Pusat. Mareka meminta pindah ke Jakarta saja. Tenaganya sebegitu dibutuhkan di
sana. Namun ia tidak mau meninggalkan mahasiswa dan rakyat Aceh. Sementara itu,
Teungku Idris Mahmud memintanya tetap tinggal di tanah kelahirannya untuk mendidik
rakyat Aceh sebagaimana ia pernah menyuruhnya pulang ke Aceh di tahun 1983 saat
pemerintah Amerika Serikat berkeinginan menunjuk Safwan Idris menjadi kepala divisi badan pendidikan di Asia
Tenggara.
Namun menjelang istirahat tetap, Safwan Idris
sempat dipancing oleh wartawan Tabloid Berita Kontras Banda Aceh tentang sikap
Amerika terhadap Gerakan Aceh Mardeka. Beliau menjawab secara lugas, “ apa
mungkin Amerika membantu GAM, sementara hutangnya belum habis ditarik dari
Aceh, maksudnya proyek Mobil Oil di Arun”. Esok harinya keluar berita head
line seolah olah Safwan Idris menyatakan, bahwa
Amerika tidak akan melepaskan
Aceh gegara hutangnya belum habis. Berita ini menggemparkan pembaca di Aceh.
Berita kontras ini diiringi pula berita Serambi Indonesia yang mewartakan
pernyataan Dayan Daud, Rektor Unsyiah, bahwa ianya akan menggelar tertemuan ilmiyah
untuk melerai perseturuan antara GAM dan Republik Indonesia seperti pertemuan
Lamteh tahun 1961 dalam mengakhiri pertikaian Tentara Islam Indonesia Negara
Bagian Aceh dengan Tentara Nasional Indonesia.
Sebaliknya, di akhir kepemimpinan Safwan Idris
menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry, isu pencalonan Gubernur Aceh merebak. Ia
digadang gadang sebagai calon terkuat saat itu. Ayah Safwan berkali kali
melarang anaknya itu menjadi orang nomor satu di Aceh dengan alasan terseret
dosa. Namun para politikus Golkar dan PPP mengharapkan kehadiran Safwan Idris
sebagai calon Gubernur Aceh priode 2000- 2005. Atas dasar ini, info yang
berkembang dalam masyarakat luas, bahwa keguguran Safwan Idris gegara
persaingan dalam pencalonan Gubernur Aceh. Memang, Safwan Idris yang dikenal
sosok pemimpin sederhana, murah senyum. Silaturrahminya menjadi magnit dalam pribadi anggota DPRD
Propinsi Daerah Istimewa Aceh saat
oooooOooooo
“